Chapter Nine

17 6 1
                                    

HUTAN BAGIAN BARAT: Sungai permata. Tetesan darah.

Eila mengulang-ngulang informasi yang dikatakan Caraka kemarin sambil berjalan masuk kedalam hutan, melewati bekas-bekas pertarungan Cinara, masuk lebih dalam.

Eila berjalan di bawah ranting-ranting pohon, menghirup aroma lembab setelah hujan. Mencari jalan melewati pohon-pohon beraroma manis, menggoda Eila untuk memetik dan memakan buahnya yang semerah ceri. Tetapi Eila sudah diperingati—itu adalah salah satu jebakan hutan ini. Manis dan menggoda, lalu membunuhmu secara perlahan jika menghirupnya lebih lama.

Tangan kirinya yang bebas dari belati perak mengambil kain kecil dari saku celananya, menutup hidungnya dan berjalan cepat melewati pohon-pohon memikat itu.

Eila mengatur langkahnya agar tetap ringan, mata dan telinga tetap terbuka, mewaspadai makhluk-makhluk yang mungkin akan datang tiba-tiba.

Hutan ini setenang pagi harinya, berbanding terbalik dengan detak jantungnya yang berdentum-dentum tak karuan. Eila takut bila suara debaran jantung itu mungkin dapat membangunkan seisi hutan ini.

Eila tidak bisa tenang. Tidak sejak dia pergi menemui penyihir. Malam-malamnya terasa menyiksa karena mimpi-mimpi itu kembali datang menghantui tidurnya.

Sekarang hanya tersisa satu opsi untuk mendapatkan kebenaran. Putri Duyung, salah satu makhluk kuno yang tinggal di Hutan Kuno.

Sebelum itu, hanya ada sedikit catatan mengenai keberadaan Putri Duyung. Eila mencari tahu lebih banyak tentang Putri Duyung melalui buku-buku yang ada di perpustakaan, tidak ada sedikitpun yang menjelaskan dimana tepatnya Putri Duyung berada dan bagaimana caranya menangkapnya. Tidak sampai Caraka memberitahunya.

Eila tidak bisa mengingat berapa lama dia menelusuri Hutan Kuno, tetapi pemandangan yang didapat ketika sampai di Sungai Permata terasa seperti dunia dongeng.

Sungai ini tidak seperti sungai yang biasa Eila lihat. Ada semacam aura magis dari arus air yang kelewat halus—yang ketika Eila pegang akan mengubah arus air menjadi berantakan. Cahaya hijau menari-nari diatas pantulan air sungai, melewati celah-celah akar pepohonan tua raksasa yang menjalar—sehingga sekeliling sungai bercahaya kehijauan. Hijau zamrud yang memukau, seolah-olah ada sihir tua yang menjaganya.

Ranting-ranting berbisik dengan cara yang paling aneh sekaligus memukau ketika Eila sampai ditepi sungai. Menginjak bunga-bunga liar yang belum lama ini mekar.

Tidak ada ikan, lumut, atau sekadar batu kerikil yang menghiasi dasar sungai sejernih permata. Sungai itu kosong, suci, tak tersentuh benda apapun. Sekalipun dedaunan kering yang jatuh.

Eila meremas belati ditangan kanannya. Butuh waktu yang lama untuk Eila akhirnya menciumkan belati itu dengan gerakan cepat di telapak tangan kirinya.

Rasa sakit segera menghantamnya, diikuti dengan darah segar yang merembes keluar dari satu goresan panjang bekas bilah belati perak miliknya.

Tanpa membuang-buang darahnya yang berharga, Eila membawa telapak tangannya yang dialiri darah merah keatas sungai.

Satu tetes.

Dua tetes.

Tiga tetes.

Eila mulai tidak sabar.

Empat tetes.

Lima tetes.

Riak air yang tenang berubah menjadi pusaran. Eila mundur, terkejut hingga menjatuhkan belatinya.

Lalu, sesuatu yang kecil melompat keluar dari pusaran.

Sosok Putri Duyung di depannya bukanlah sosok yang Eila pikirkan—kecil dan bersisik hijau yang paling tua, hampir hitam—bukan sosok Putri Duyung jelita berekor panjang dengan tubuh setengah manusia yang senang memikat para nelayan.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang