Chapter Twenty-Nine

12 4 0
                                    

EILA MERASA MUAL.

Darah Eila berpusar cepat. Dia berjalan tanpa arah ditengah lautan kabut dengan pedang di tangannya—bersiap untuk keadaan terburuk.

Keheningan abadi yang tiba-tiba membuat Eila gelisah setengah mati.

Dia tersesat.

Dan, Arai pasti sudah meninggalkannya.

Pipi Eila terasa basah. Dia menangis, tetapi Eila menolak untuk menyerah dan berlari menembus apapun yang bisa ditembus.

Waktu berselang lama, Eila tidak tahu sudah berapa lama dia berada di dalam kabut itu sendirian. Arai mungkin saja sudah berhasil keluar dari kurungan kabut ini, kembali ke Pondok Petarung seolah-olah tidak terjadi apa-apa hanya karena dia telah terbiasa melewati hari-hari penuh adrenalin.

Kemudian, di antara kabut yang tebal, Eila akhirnya dapat melihat siluet sebuah rumah kayu ulin sederhana dengan taman kecil dan dua sepeda kecil tergeletak di depan rumah.

Eila telah berhasil keluar dari Hutan Kegelapan.

Eila berhasil kembali.

Dalam kurun waktu beberapa detik Eila sudah berdiri didepan rumah itu. Kabut tersingkap sepenuhnya, tertinggal di belakangnya.

Eila menoleh untuk menatap hutan di belakangnya untuk mencari Arai dan merasakan kekecewaan. Tidak ada siapapun.

Arai benar-benar meninggalkannya.

Angin berhembus cepat menerbangkan rambut pendeknya yang sudah tidak lagi terikat rapi. Eila mendapati dirinya begitu berantakan dari pantulan kaca jendela.

Lalu Eila mendengar teriakan seseorang. "Hanyi, Eila! Ayo, sudah waktunya mandi, sebentar lagi ayah akan pulang!"

Napas Eila tercekat. Dia menjatuhkan pedang yang dia pegang kala pemandangan di hadapannya berubah menjadi ruang tamu kayu besar.

Seorang wanita duduk di tengahnya sambil menguncir rambut anak kecil berumur empat tahun. Pria lain keluar sambil membawa tas ransel dengan langkah terburu diikuti anak laki-laki kecil yang memegang peralatan gambarnya.

"Ayah, Eila meninggalkan pensil warnanya lagi!" dia mengadu dengan wajah cemberut, mengejar ayahnya yang diburu waktu.

Eila tidak sanggup berdiri. Sekarang bernapas membutuhkan lebih banyak kekuatan untuk dikerahkan.

Ruang tamu berganti menjadi merah. Perempuan kecil itu berteriak kala puing-puing kayu yang terbakar mengenai dahinya dan lengan baju kakaknya. Membakar rambutnya.

"Lari!"

Anak laki-laki kecil itu segera memadamkan api yang menggerogoti rambut diatas dahi perempuan kecil itu, mengabaikan luka bakar yang cukup besar di punggung tangannya.

Kedua kakak beradik itu berlari melewati Eila, lalu menghilang.

Tubuh Eila berguncang, berjuang mengendalikan gelombang emosi dan potongan-potongan ingatan yang hilang.

Eila mengingat luka di punggung tangan Hanyi dihari  pertama kali dia bertemu di Negeri Utara.

Hanyi adalah kakaknya. Dan dia mengingatnya. Hanyi pergi ke bangsa Galat untuk mencarinya.

Lalu suasana berganti lebih mencengkam. Bayangan gelap yang menyerupai mimpi buruk menghadangnya. Tubuh kaku ayahnya mulai terasa dingin, Eila kecil menangis ketakutan dalam pelukannya. Kemudian ibunya datang, dengan penuh keputusasaan dan kegigihan. Lautan api menyeruak, rumah itu hangus terbakar.

Air mata Eila mengalir deras, membasahi pipinya dengan kenyataan yang menyakitkan.

Ayahnya meninggal karena dirinya.

Eila telah membunuh ayahnya. []

ɴ ɢ ʀ ɪ ʀ ʀ ɴ ɢ

find me on instagram and tiktok, with the same keyword : hifeeza

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang