Chapter Twelve

17 6 1
                                    

SEISI RUANGAN TERCENGANG DAN MEMBISU. Ini adalah situasi yang tidak pernah lagi terjadi selama beberapa tahun belakangan.

Arai dan Hanyi duduk di meja yang sama. Cukup dekat, sampai-sampai tidak ada yang berani duduk di sekitar keduanya selain Saga, Caraka dan Eila—yang sangat-sangat terpaksa.

Hanyi mengangkat alat makannya seperti biasa, tidak mengindahkan sejumlah perhatian besar yang tertuju pada penampilan mencolok khas bangsa Galat.

Ada kisah yang tidak Eila ketahui di antara keduanya. Kisah yang cukup membuat Eila penasaran dan akhirnya memilih duduk diantara mereka.

Eila bisa mengerti, mengingat sikap menyebalkan yang selalu Arai lontarkan padanya. Punya musuh bebuyutan lain selain dirinya bukanlah hal yang aneh. Eila malah senang.

Saga, Eila dan Hanyi duduk berjejer sementara Arai dan Caraka duduk dihadapan mereka setelah mati-matian membujuk mereka semua untuk makan bersama.

Caraka memang suka cari mati.

"Wow—baju mu keren!" kata Caraka, matanya menyala dengan mulut penuh makanan.

"Lakukan satu-satu, Ubanan!" Eila memundurkan badannya dengan tampang jijik. "Kau seperti sedang melakukan atraksi petasan!" tangannya dengan cekatan mengangkat nampan nya, mengantisipasi remahan makanan Caraka menyembur ke arahnya.

Hanyi disampingnya tersedak, terkejut dengan wajah memerah.

Bibir Caraka mengerucut, dia hampir melontarkan balasan untuk Eila jika saja Arai tidak memukul kepalanya. "Telan dulu makananmu!"

Caraka memelototinya dengan marah. "Jika makananku muncrat, itu salahmu, tolol!" dia menggeser duduknya lebih jauh dari Arai, sehingga sekarang Caraka duduk bersebrangan dengan Hanyi.

Sementara bangku depannya kosong, Eila sedikit menghela napas lega, menaruh nampan miliknya kembali ke atas meja. Eila mengingatkan diri untuk tidak pernah satu meja lagi bersama dua cecunguk ini—Arai dan Caraka.

Meskipun begitu, tampaknya kepribadian Caraka tidak mempermasalahkan kejadian barusan terlalu lama. Karena beberapa detik setelahnya wajahnya kembali seperti semula, senyumnya terbit—senyuman konyol yang mampu membuat Eila memutar bola matanya.

"Jadi—" Caraka berhenti untuk menelan makanannya cepat-cepat. "Bagaimana kalian saling mengenal?"

Hening cukup lama. Tidak satupun dari Eila maupun Hanyi yang hendak menjawab pertanyaan Caraka.

"Mereka satu sekolah." Saga menjawab untuk mereka. Makanannya sudah hampir habis. Terburu-buru. Saga hanya memiliki sedikit waktu untuk menelpon keluarganya.

"Oh–wow—"

"Jadi selama ini kau bersembunyi di bangsa Galat?" Arai memotong ucapan Caraka dengan suara ketus. Tidak ada keterkejutan dalam nada suaranya, hanya ada perasaan ingin mencabik-cabik lawan bicaranya. Matanya yang kelam menatap tajam Hanyi, seperti sebilah belati hitam miliknya yang tersampir diatas meja, tepat di samping nampan nya.

Ini dia—hal yang diantisipasi seisi ruangan.

Eila berpikir mereka mungkin saja akan bertarung dalam hitungan detik.

Alih-alih pertarungan sengit, Hanyi menjawab dengan kalem disampingnya. Tidak terpengaruh sama sekali dengan ucapan tajam yang Arai lontarkan. "Aku tidak sembunyi."

"Oh—sungguh?" Arai mengejek.

Entah naluri dari mana, Eila mengalihkan pandang dari Hanyi pada Caraka, mengangkat alis seolah ingin mengatakan: Ada apa dengan mereka?

Untungnya, Caraka cukup peka. "Oh, mereka?" menyentakkan kedua ibu jarinya ke arah Hanyi dan Arai. "Mereka sedang reuni. Berapa tahun kalian tidak bertemu?" menoleh dari Hanyi ke Arai seolah-olah pertikaian keduanya sama sekali tidak ada pengaruhnya untuknya.

Pemuda ini—memang tidak pernah serius.

Eila menghela napas lelah, mengalihkan pandang kepada pemuda bersurai panjang di sebelah kirinya—yang terlalu sibuk dengan makanannya.

"Mereka saling berkompetisi," jawab Saga, menyuap sesendok besar sate lidah nada dan rempah kekuatan ke mulut. "Memperebutkan posisi pertama petarung. Hasilnya tipis, Arai menang, tidak lama kemudian Hanyi menghilang."

"Saat itu aku masih kecil," Hanyi berkata tidak terima.

"Itu pertarungan yang adil." Arai memutar bola matanya. Makanannya bahkan belum tersentuh. "Dan—umurmu denganku cuma beda dua tahun lebih sedikit."

"Tiga tahun." Hanyi merespon cepat.

Caraka menggeser duduknya dengan kekuatan angin miliknya, bergerak seakan-akan kursi panjang itu adalah perosotan dan mengambil kesempatan untuk memukul belakang kepala Arai. "Makan, makananmu, tolol." Merosot kembali secepat mungkin kehadapan Hanyi sambil melotot menantang Arai. "Kau mau mati kelaparan saat bertugas nanti?" katanya sambil melirik makan siang Arai yang belum tersentuh sedikitpun.

Eila menghiraukan mereka saat Arai mulai berdiri dan menarik rambut abu-abu milik temannya itu. Berpaling kepada Hanyi dengan alis tertaut. "Kenapa kau meninggalkan Negeri Utara?"

Dalam cahaya redup, mata Eila bersinar keemasan di bawah tatapan mata langit mendung milik Hanyi. Hanyi berkedip beberapa kali, "Aku bekerja pada Paman Milan. Memburu makhluk kegelapan yang kabur ke bangsa Galat." Suaranya selembut sutra ketika berbicara pada Eila. "Hari ini aku datang untuk meminta gajiku. Tapi aku lupa jika ini musim festival dan Paman Milan tidak ada."

"Jadi kau punya akses keluar masuk portal antar dunia?" mata Saga menyipit curiga. Pasalnya Hanyi saat itu terlalu muda untuk ditugaskan di bangsa Galat—ketika Hanyi tiba-tiba menghilang tiga tahun yang lalu.

"Ya," Hanyi, anehnya mengangguk dengan kalem. "Tiga bulan sekali. Tapi aku menggunakannya enam bulan sekali."

"Aku tidak pernah bertemu denganmu sekalipun sebelum hari ini." Caraka mendorong Arai kembali ke tempatnya. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya merah padam.

"Kau bukan orang penting. Untuk apa aku menemuimu."

"Oh–" Caraka memegang dadanya dramatis. "Kau jahat sekali bocah, padahal dulu kau sering mengikutiku kemana-mana."

Wajah Hanyi memerah. "Aku—tidak."

"Kau tidak ingat menangis saat aku bertugas sebulan di desa Ta–"

"Tutup mulut, Caraka."

Sebelum Caraka sempat mendebat, Saga berdiri. Mengambil nampan makanannya yang sudah habis. "Aku ada urusan, aku pergi duluan," Saga bergerak pergi, namun setelah beberapa langkah berhenti, berbalik, menatap Eila dan berkata, "kita bertemu langsung di tempat latihan tadi?"

Eila mengangguk. []

ɴ ɢ ʀ ɪ ʀ ʀ ɴ ɢ

find me on instagram and tiktok, with the same keyword : hifeeza

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang