Chapter Sixteen

12 4 0
                                    

DUNIA TERASA BERUBAH ketika Eila turun dari tangga rumah Paman Milan setelah membersihkan diri dan berganti baju.

Seakan-akan musim semi akhirnya tiba di kehidupan Eila yang selalu terasa seperti musim hujan tak berkesudahan.

Eila berjalan memutar menuju ruang makan yang berada perkemahan dibelakang rumah Paman Milan. Melewati jalan setapak berbatu hingga sampai di tenda paling besar yang ada di Pondok Petarung.

Festival hari pertama.

Pikiran itu segera terlintas kala Eila mendapati dekorasi sewarna dedaunan paling subur di hutan yang dikombinasikan dengan warna perak menggantung di sepanjang dinding-dinding tenda.

Lambang Negeri Utara: Elang, Pedang, Dandelion.

Seseorang menyenggol bahunya pelan. "Ini pertama kalinya juga kau melihat dekorasi ini?" kata Hanyi sambil tersenyum cerah.

Eila menatapnya lalu turun kepakaian petarung yang Hanyi gunakan.

"Kau tidak terlihat berbeda." Eila berkata tanpa sadar.

Hilang sudah sosok kemarin yang Eila lihat: jaket varsity, celana jins, dan segala pernak-pernik khas bangsa Galat.

Kini yang terlihat hanyalah seorang petarung: kuat, pemberani, perkasa.

Ada dua pedang di punggungnya: hitam dan putih. Dua. Itu berarti Hanyi dapat menggunakan kedua pedangnya sekaligus.

"Aku mulai berlatih di Pondok Petarung sejak aku berusia tujuh tahun." kata Hanyi ketika melihat pandangan tertarik pada kedua pedang di punggungnya. "Pedang yang hitam pemberian, tapi karena aku tidak bisa meninggalkan keduanya. Aku memilih untuk memakai keduanya."

"Dengan dua tangan?" Eila melongo takjub.

Hanyi memperhatikan wajah Eila sambil tertawa pelan. "Ya, dengan dua tangan. Kau belum pernah melihat petarung lainnya menggunakan dua pedang?"

Eila menggeleng. "Belum. Tapi aku dengar Arai bisa pertarungan dua pedang," katanya kecut.

Setelah mendengar ucapannya sendiri kini Eila menyadari mengapa Arai dan Hanyi memiliki peringkat tinggi. Membayangkan bagaimana mereka bertarung nyatanya cukup membuat Eila penasaran: seberapa sengit mereka?

Ketika mengingat Eila pernah bertarung melawan keduanya membuat Eila mengerucutkan bibir. Mereka pasti bermain ringan dengannya sampai-sampai Eila dapat berpikir hampir bisa mengalahkan kedua.

Eila mendengus. Berjalan menuju deretan makanan yang sepi.

Hanya ada sedikit petarung di ruang makan. Tidak seperti biasanya yang harus mengantri untuk mengambil makanan—kali ini Eila tidak perlu mengantri.

"Kupikir kau kembali kebangsa Galat."

"Aku ingin kembali, tapi sayang sekali jika aku melewatkan festival padahal kau ada disini." Hanyi mengangkat bahu, mengisi sepertiga nampan nya dengan bunga kematian dan mengambil empat tusuk sate lidah sate.

Eila menatap nampan milik Hanyi dengan ngeri. Mengambil tempat terdekat dan duduk.

Hanyi mengambil duduk di hadapannya.

"Apa bedanya?" cetus Eila.

"Sendirian di festival tidak menyenangkan. Dan ini festival hari pertama."

Eila tidak mengerti.

"Festival hari pertama selalu punya keistimewaan sendiri. Kupikir kau belum pernah kesana?"

Eila menggeleng.

"Kau tidak tahu seberapa frustasinya aku karena tidak memiliki teman bicara yang mengetahui tentang negeri ini dibangsa Galat. Aku senang sekarang punya satu. Setidaknya kau tidak akan menganggapku aneh." Hanyi menyugar rambut coklat tuanya. "Kau mau pergi ke festival bersamaku, kan?" mengangkat alis dengan tatapan penuh harap.

Eila mengingat ucapan Hamid tadi pagi. Mungkin tidak ada salahnya.

Ini adalah permulaan baru. []

ɴ ɢ ʀ ɪ ʀ ʀ ɴ ɢ

find me on instagram and tiktok, with the same keyword : hifeeza

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang