Chapter Thirty-Nine

14 5 1
                                    


HANYI MEMANG TIDAK MEMBERIKAN SAGA potongan rambut yang aneh—hanya saja terlalu pendek dari yang pernah Eila perkirakan.

Hilang sudah kesan anggun yang biasanya Eila dapatkan ketika melihat Saga berjalan dengan rambut panjangnya yang mengayun lembut. Tergantikan oleh postur wajah tegas yang menonjolkan alis tebal beserta mata hitamnya yang pekat dan garis rahang yang kuat.

Sekarang rambut Saga tampak lebih rapi, bagian samping dan belakangnya dipotong lebih pendek dibandingkan bagian atasnya. Rambut bagian depannya sedikit berantakan, menciptakan penampilan yang tidak terlalu kaku.

Siapapun tahu bahwa Saga benar-benar berhasil menyamar.

Bahu Saga turun, memotong rambut adalah hal terakhir yang dia inginkan. Saga telah hidup dengan rambut panjang selama 20 tahun hidup, dan sekarang tiba-tiba dia harus potong rambut agar penyamarannya berhasil.

Eila dan Ediyn tanpa sadar terperangah begitu melihat Saga melewati halaman belakang, diikuti Hanyi dibelakangnya yang menenteng kantong plastik berisi pakaian yang telah dicuci-kering.

Bahkan Arai yang hanya berjarak beberapa meter disebelahnya memberikan respon tersentak—yang berusaha keras dia tutupi.

Saga dalam hitungan detik membeku begitu menyadari keberadaan Arai disebelah Eila. Saga berdiri diambang pintu belakang, "Arai?" suaranya hampir berbisik, campuran antara keterkejutan dan perasaan lega. Saga tidak memperkirakan akan melihat Arai hari ini. "Aku ... aku minta maaf," katanya, suaranya serak tetapi terdengar tulus. "Aku minta maaf karena berbohong padamu."

Eila yang tidak mendengar jawaban dari Arai setelah beberapa saat akhirnya menoleh—mendapati Arai membuang muka, menatap hamparan hammock yang sebelumnya dia rusak telah diperbaiki.

Meskipun masih enggan dan merasa diperhatikan, Arai akhirnya buka suara, "Kau—rambut," suaranya tercekat. Dia berdehem pelan sebelum meneruskan kalimatnya, "itu cocok untukmu."

"Kau harus potong rambut juga," celetuk Hanyi, mengambil tempat di samping Eila. "Ponimu sudah menutupi mata dan sekarang kau seperti anak yang dibully."

Arai memutar matanya. Tidak membalas, namun mereka tahu bahwa suasana hati Arai sudah mulai membaik.

Kemudian langkah kaki tergesa datang dari arah samping rumah, memasuki halaman belakang hingga tiba di pintu halaman belakang. Dengan cepat Caraka menghambur masuk dengan tangan penuh dengan es krim kemasan.

"Teman-teman—" dia sedikit berteriak. "Ini akan meleleh, kalian harus cepat mengambilnya!"

"Dari mana kau mendapatkannya?" Hanyi melihat enam bungkus es krim dengan berbagai rasa yang Caraka pegang—tiga di masing-masing tangannya.

"Beli, di supermarket."

Hanyi membuka mulutnya. Kemudian menutup. Matanya terpejam sambil mengambil napas dalam. "Dan, dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli?" setiap perkataannya penuh penekanan.

Eila meringis, memilih menggeser duduknya lebih jauh seolah-olah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Caraka berkedip polos. "Dari benda yang kau sebut dompet."

Ediyn yang berada di atas hammock pura-pura tidak melihat kelakuan Caraka, tangannya terangkat di udara—menyerah.

Caraka berjalan cepat mendekati Saga dan Arai ketika Hanyi melotot ke arahnya. Dia menyerahkan bungkusan es krim itu tangan mereka dan mulai berlari ke halaman belakang.

"Akan kuganti!" dia berteriak sambil melayang, berusaha menghindari amukan Hanyi.

Hanyi bergerak secepat kilat menariknya hingga punggungnya menghantam tanah pekarangan.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang