Chapter Eight

18 6 17
                                    

EILA BERHENTI MELANGKAH KETIKA matanya menangkap keberadaan Saga dan Caraka sedang bermain tangan di tempat latihan mereka biasanya.

Saga dengan tampang jijik yang terlalu jelas tercetak di wajahnya tengah mencegah Caraka yang berusaha mendaratkan kecupan di pipi Saga.

"Kau terlihat seperti pemuda yang akan melakukan pelecehan seksual." Celetuk Eila malas. Dia tidak punya banyak tenaga karena kurang tidur semalam.

Keduanya menoleh.

Saga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mendorong Caraka dengan satu hentakan keras.

Mereka bertemu pandang, Eila dapat menagkap ucapan terima kasih Saga lewat tatapan matanya.

Caraka nyengir, berhasil selamat dan tetap berdiri setelah hentakan keras yang Saga berikan. "Kekuatan peremuk yang selalu kau banggakan sepertinya sudah tidak berfungsi lagi, Ga." Caraka menjulurkan lidahnya, kemudian berpaling kepada Eila.

Caraka mengibaskan tangannya didepan wajah. "Kami sudah biasa—"

"Tidak." Saga menyela, sementara pipinya merona.

Caraka melemparkan pandangan terluka yang main-main pada temannya. "Selamat datang, Eila." Dia mengedip kepada Eila.

Eila mengabaikannya. "Apa yang dia lakukan disini?" matanya yang kecoklatan melirik Caraka tajam.

"Anggap saja dia tidak ada."

"Hei—aku bisa mendengarnya, asal kalian tahu. Dasar orang-orang tidak punya perasaan." Caraka menggerutu, berjalan dengan aneh, seolah-olah ada sesuatu yang mendorongnya sehingga kakinya terlihat melayang.

Kemudian, Caraka menghempaskan diri ke pohon besar di dekat mereka, bersandar, sambil mengawasi Eila yang mulai melilit tangannya dengan kain panjang.

Hari ini mereka tidak lagi latihan menepuk air. Dan Eila bersyukur karena itu.

Caraka menghela napas dengan kuat, sampai-sampai Eila khawatir—mungkin saja ada upil yang ikut keluar dan mengenainya. Pasalnya, Caraka duduk hanya beberapa meter dihadapannya.

Eila mengambil langkah mundur.

Satu langkah.

Dua langkah.

Caraka memperhatikan Eila dengan wajah aneh. Mungkin sedang mengira-ngira apa isi kepala Eila. "Kenapa kau mundur-mundur begitu sambil melihatku?"

"Upilmu mungkin akan muncrat mengenaiku jika sekali lagi kau menghela napas." Eila berkata dengan spontan.

"Apa?" Caraka melongo. Matanya lambat laun melirik temannya yang sudah menundukkan kepala dalam-dalam dan terbahak, suara tawanya lembut dan anehnya enak didengar untuk ukuran pemuda berwajah dingin. "Kau tertawa? Sungguh?! Temanmu baru saja dipermalukan!"

Eila memutar bola matanya, tangannya terlipat didada. "Bagaimana bisa—tidak ada yang memberitahumu, bahwa—kau, bisa memuncratkan upil jika menghela napas sekeras dan penuh penjiwaan seperti itu?"

Bahu Saga bergetar semakin kencang. Eila sedikit terkejut melihatnya, terpesona dengan suara tawanya. Berbanding terbalik dengan wajah Caraka yang datar, kesal setengah mati.

"Aku bosan. Sangat—bosan. Arai sedang bertugas di desa Rimba menggantikan Dante dan semua orang sibuk selain aku." katanya sambil memanjang-memanjangkan suku kata sangat.

Pemuda Ubanan ini persis seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen.

Saga berdehem, berusaha menenangkan diri. Suaranya serak ketika berkata, "Ini pertama kalinya kau libur sejak tiga minggu, istirahatlah." Saga menyugar rambut panjangnya, memperlihatkan wajahnya yang bersemu di balik kulit zaitun keemasan.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang