Chapter Thirteen

15 5 1
                                    

"KAU ANEH." Caraka menyipit, tangannya terlipat di depan dada. "Tidak biasanya kau banyak bertanya seperti ini," dia mengarahkan jari telunjuknya melingkari wajah Hanyi. "Aneh."

"Manusia terus tumbuh dan berubah, Caraka. "

"Kelihatannya tidak." Caraka mengedikkan kepala kearah Hanyi. "Yah—meskipun kau sudah tidak berwajah bayi seperti tiga tahun lalu," senyumnya mengejek saat mengatakannya.

"Kau berhalusinasi." Hanyi mendelik pada Caraka.

Caraka membuka mulut, hampir mengucapkan sesuatu dan berakhir tertawa karena isi pikirannya sendiri. "Maksudmu—kau masih berwajah seperti bayi, sekarang?"

"Kau tidak akan bisa melawan kata-katanya, Hanyi. Abaikan saja. Nanti dia diam sendiri," sahut Eila, memangkukan dagunya pada ganggang pedangnya yang setengah tertancap ke tanah.

Tidak biasanya Saga terlambat.

Dia bahkan tidak pernah terlambat sekalipun sejak hari pertama mereka latihan.

"Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut padaku, El?" Caraka mengerutkan bibir. "Kenapa kau pilih kasih sekali?" katanya sambil menggerutu.

Eila memutar matanya bosan.

"Manusia berubah, tapi sepertinya kau tidak, Caraka." Hanyi menatap Caraka, ada topeng dibalik wajahnya yang ramah.

"Aku tidak meminta pendapatmu, Bocah." Caraka menjawab cepat.

Hanyi berpaling, memperhatikan Eila yang terpaut tiga meter di depannya. Wajahnya masam seperti orang yang ingin kabur.

"Aku seorang pelari. Jadi, apa kekuatanmu?" tanya Hanyi pada Eila, mengulang pertanyaan yang belum mendapat jawaban.

Eila menatap Hanyi sepersekian detik sebelum menjawab sesingkat mungkin. "Peremuk." Dia sedang tidak ingin berbicara.

"Selain itu?"

"Tidak ada."

Caraka berdiri. Memandang Eila dan Hanyi bergantian sambil berkacak pinggang. "Jadi aku benar-benar diabaikan?" katanya tak percaya. "Aku bukan hantu yang tak kasat mata!" dia berdiri ditengah-tengah Eila dan Hanyi, menghalangi pandangan mereka satu sama lain.

Mereka masih mengabaikannya.

"Orang-orang jahat ini, tidak berkeprimanusiaan." Akhirnya duduk, melipat lengan di dada, mengawasi Hanyi yang melemparkan banyak pertanyaan pada Eila dengan wajah cemberut.

Mata Eila tertuju pada jalan setapak di dekat area latihan untuk ketiga puluh kalinya. "Apa sesuatu terjadi pada Saga?" suaranya terdengar getir.

"Oh, sekarang aku sudah tidak jadi hantu lagi?" Caraka berkata kecut. Dia mengedikkan bahu, "Kurasa tidak. Ini gilirannya untuk menelpon keluarganya, kan?"

Eila mengangguk.

"Saluran telepon antar negeri itu sangat mahal. Itulah mengapa para petarung hanya diberikan kesempatan untuk menelpon secara gratis dua minggu sekali, diluar itu—biaya sendiri. Mungkin saja ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh ibu dan adiknya. Mereka sudah lama tidak bertemu."

Hanyi bangkit berdiri.

"Kalau begitu, ayo berlatih bersamaku." Tidak—lebih tepatnya: "Ayo bertarung." Hanyi mengangkat alis sambil melepas jaket varsity miliknya dan melemparnya ke akar pohon tua yang menyembul. Menyisakan kaos oblong putih dan celana jeans.

Eila menatapnya lama sementara Hanyi menarik pedang yang terikat pada punggung Caraka.

"Hei!" Caraka memprotes.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang