Chapter Five

19 10 2
                                    

MIMPI-MIMPI ITU KEMBALI.

Mimpi-mimpi itu hanya meninggalkan Eila sementara, tak lama setelah Eila diadopsi oleh keluarga angkatnya ketika berumur 12 tahun.

Eila pikir dirinya tidak akan lagi melihat kobaran api besar yang hampir memakan dan membakarnya hidup-hidup, teriakan, dan seseorang yang memeluknya.

Kemudian mimpi itu berganti. Hanya ada tangan kecilnya yang dilumuri darah, kelinci kesayangannya tergeletak di lantai dingin.

Eila telah membunuhnya.

Kerongkongan Eila tercekat, menangkup tangannya yang gemetar.

Hatinya mencelos, menyadari bahwa dirinya terlalu berani untuk berharap.

Eila berpikir, mungkin—mungkin dia bisa hidup normal. Anak remaja biasa yang tinggal di dalam keluarga yang biasa saja. Orangtua yang cerewet, rumah sederhana, dan seorang adik yang mengganggunya sepanjang waktu.

Akan tetapi Eila tahu, dia jauh dari kata normal. Tidak dengan adanya kekuatannya.

Sesuatu yang terjadi di masa lalunya bukanlah sesuatu yang bisa hilang oleh waktu. Kini—Eila bukanlah anak normal yang pernah diharapkan. Sejak dulu Eila tidak pernah menjadi normal.

Eila mengalami mimpi yang sama setiap malam ketika masih berada di panti asuhan dan setiap malam Eila terbangun sambil bergetar, menggigil di balik selimutnya, berjuang untuk menenangkan dadanya yang berdebar kencang.

Dalam mimpi itu ada kebakaran besar. Eila tidak pernah mengingat tentang kebakaran itu. Dia pikir itu hanyalah mimpi buruk semata. Namun, ketika Eila menatap cermin, Eila dapat melihat bekas luka bakar di dahinya yang telah memudar. Mungkin itu sebabnya Eila selalu takut dengan api—karena mimpi itu.

Api meretih dari tempat pembakaran, menyebarkan kehangatan sementara tirai jendela berkibar tertiup angin. Eila yakin telah menutupnya sebelum tidur, berharap dengan menutupnya dapat menghilangkan suara-suara yang merayap dalam inderanya.

Perlahan, Eila merayap turun dari tempat tidur kokohnya yang terbuat dari kayu mewah berukir sulur-sulur tanaman. Lalu melempar selimut berwarna putih asal keatas tempat tidur.

Pakaiannya masih sama. Pakaian petarung. Semua jenis pakaian yang Eila miliki hanyalah pakaian itu.

Warnanya coklat paling gelap, sangat gelap sampai-sampai hampir hitam. Terbuat dari kulit, tanpa lengan—ada sebuah lambang yang ditabuhkan dengan logam panas berbentuk siluet burung elang, lambang Negeri Utara.

Pakaian itu agak mengkilap. Celananya yang sepanjang mata kaki jauh lebih ringan, sedikit ketat, namun nyaman.

Eila meninggalkan sabuk pengikat yang biasa digunakan di punggung dan pinggangnya untuk mengikat senjata seperti pedang dan belati. Kemudian meraih sepatu boot setinggi betis.

Rambut hazel bergelombang sepanjang bahu miliknya dia ikat asal, menyisakan poni yang terbelah dua, sengaja dibuat lebih panjang dan melengkung untuk menutupi bekas luka bakar didahinya.

Eila membuka pintu kamarnya sepelan yang bisa dia lakukan, menyusuri koridor dan mengendap-ngendap menuruni tangga, berjalan keluar dari rumah kayu milik Paman Milan.

Begitu sampai diluar, Eila menarik napas dalam, mengambil sebanyak-banyaknya udara segar yang mampu membuatnya tenang.

Malam ini sepi seperti biasanya. Tidak ada yang beraktifitas selain keempat petarung yang berjaga di beberapa titik di pondok petarung.

Para petarung biasanya mendapatkan giliran satu hingga dua kali berjaga dalam sebulan. Meskipun Eila tidak yakin apa yang perlu dijaga di pondok yang penuh dengan petarung.

Eila berjalan memutari rumah Paman Milan, menuju pancuran air yang berasal dari mata air gunung, kemudian Eila membasuh wajahnya.

Sekali.

Dua Kali.

Tiga Kali.

Hal seperti ini sudah biasa terjadi selama Eila berada di Pondok Petarung. Jika tidak bisa tidur, maka mimpi buruklah yang menyerangnya.

Sambil menghela nafas kasar, Eila menoleh ke arah hutan di sebelah kanannya. Bola matanya berkilat ditimpa cahaya rembulan, menelisik seluruh hutan yang mampu dijangkaunya. Mencari-cari.

Kosong.

Berbanding terbalik dengan telinganya yang berdengung. Eila berbalik kearah yang lain, matanya kembali berkeliling ke arah puluhan tenda dihadapannya.

Kosong.

Hanya keheningan yang tenang yang mampu Eila lihat.

Mungkin Eila sudah gila. Saga dan Hamid berpendapat Eila tidak memiliki kekuatan pendengar. Gejala yang Eila alami bukanlah tanda-tanda kepemilikan kekuatan pendengar.

Para pendengar bisa mendengar sesuatu dengan jelas, meskipun jaraknya terlampau cukup jauh. Mereka bisa mendengar suara kunyahan semut, ulat yang memakan daun, kepakan sayap kelelawar, suara tetesan hujan satu-persatu dengan sangat jelas ketika menyentuh tanah.

Tidak satupun dari hal-hal itu yang mampu Eila dengar. Dia hanya mendengar bising suara orang berceloteh tidak jelas, senandung nada suram yang mampu menggetarkan tulang, seolah-olah tengah berusaha memberitahunya bahwa mereka ada.

Eila berbalik ke arah selatan, menatap pepohonan yang bergoyang-goyang. Selama ini Eila tidak pernah mempercayai hantu, dia tidak pernah takut.

Namun pemikiran bahwa suara-suara yang terdengar di telinganya ini mungkin saja adalah suara mereka yang berusaha meminta bantuannya untuk mencarikan jasad-jasad mereka yang belum ditemukan membuat Eila bergidik ngeri.

Segera saja, Eila menutup keran dengan gerakan cepat dan berlari masuk kedalam rumah Paman Milan tanpa memusingkan apakah dia akan membangunkan Paman Milan atau tidak.

Sekarang—sepertinya Eila mulai takut pada hantu. []

ɴ ɢ ʀ ɪ  ʀ   ʀ ɴ ɢ

find me on instagram and tiktok, with the same keyword : hifeeza

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang