Chapter Twenty

9 5 0
                                    

EILA TIDAK BISA BERNAPAS.

Ada banyak warna cerah, bau terbakar dan asap hitam.

Eila tahu bahwa itu bukan bau masakan yang biasanya ibu dan ayahnya bakar dibelakang rumah.

Rumah mereka terbakar. Seperti yang pernah Eila saksikan di televisi.

Tubuhnya gemetar, panik membanjirnya saat menyadari dia sendirian, terjebak dalam kamarnya yang belum dilahap api.

Eila memanggil ibu, kakak, dan ayahnya bergantian—dengan suara seraknya karena tangisan.

Dia mengusap wajahnya dengan punggung tangannya kala pandangan matanya mulai mengabur karena air mata.

Lalu seseorang berteriak, "EILA! EILA KAU DIMANA?" suara anak kecil. Suaranya terdengar panik sambil sesekali terbatuk-batuk memanggil nama Eila.

"Kak!" Eila berteriak sekeras yang dia bisa.

Pintu dibuka dengan paksa. Ada cahaya memantul dari tubuh anak itu, seolah melindungi tubuh anak itu dari lahapan api, kakaknya. Rambutnya setengah gosong terbakar api.

Kakaknya berlari menghampirinya. Wajahnya pucat pasi, ketakutan, tetapi dia berusaha tenang begitu suara berdebum terdengar dari sisi lain rumah yang terbakar.

"Ibu menyuruh kita keluar."

Eila mengangguk cepat, menggenggam tangan kakaknya.

Mereka berlari melintasi ruangan demi ruangan. Rumah mereka panjang, penuh ruangan—atau mungkin Eila yang terlalu kecil.

Namun sesuatu yang terang menghalangi langkah mereka. Dingin dan kelam.

Bentuknya seperti seorang manusia, namun berkepala naga.

Sedetik berselang—sesuatu itu menghantam lemari kayu dibelakang mereka yang setengah terbakar.

Puing-puing kayu terbakar berterbangan ke segala arah. Mengenai kulitnya dan lengan baju kakaknya. Eila berteriak begitu rambutnya terbakar, tepat diatas dahi.

"Lari!"

Anak laki-laki itu segera memadamkan api yang menggerogoti rambut diatas dahi Eila, mengabaikan luka bakar yang cukup besar di tangannya, lalu menarik tangannya.

Mereka berlari ke arah pintu keluar.

Eila menoleh sekilas kebelakang, ibunya dengan sisa-sisa kekuatan mencoba melawan makhluk yang wujudnya berubah semakin terang itu.

Ibunya....


Eila membuka matanya dengan cepat. Menatap langit-langit kamarnya dengan nafas memburu cepat.

Suara kretak nyaring menggema sedetik kemudian. Memberinya peringatan selama beberapa detik.

Kasur nya terasa bergetar, lalu ambruk—terbelah menjadi tiga.

Eila memekik kaget kala tubuhnya terjebak diantaranya.

Langkah-langkah kasar mulai terdengar dari arah luar kamar. Tergesa.

Pintu terjeblak terbuka, kemudian Paman Milan menghambur masuk. Wajahnya memerah, panik bukan main.

"Kamu baik-baik saja?" dia mengulurkan tangannya, membantu Eila bangkit dari kasurnya yang miring sebelah. Dua kaki kasur miliknya patah di bagian kepala.

Eila menyesuaikan pijakannya hingga menyentuh lantai kayu dingin. Rambutnya berantakan bukan main, menghambur diwajahnya sementara pipinya lengket—air matanya mengering.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang