Chapter Twenty-Four

13 4 0
                                    

"MINUM. SEKARANG." Eila berlutut di hadapan Arai, mengangkat sebelah tangannya yang menangkup air ke bibir pucatnya.

Arai mengernyitkan dahi, mulutnya terbuka, bersiap untuk berbicara. Namun Eila tidak memberinya kesempatan untuk menolak. Eila memegang belakang kepala Arai, mendorong nya.

"Kasar sekali," desis Arai setelah Eila melakukannya sebanyak tiga kali.

Eila memutar mata selagi dirinya mengambil tempat di seberang Arai. Akhirnya beristirahat setelah perjalanan panjang membopong Arai sepanjang jalan ke sungai.

"Tidur. Aku akan berjaga." Perintah Eila.

"Tidak." Arai menegakkan punggungnya dengan sigap. "Aku yang berjaga."

"Kau mau mati?"

"Kau tidak begitu tahu hutan ini, Ela. Hutan ini berba—"

"Aku tahu." Potong Eila kesal. Dia bukan anak kecil yang perlu dijaga mati-matian.

"Aku serius. Dan berhentilah bersikap menyebalkan."

Eila mendengus. "Kau—yang berhenti bersikap menyebalkan."

"Aku tidak per–"

"Oh, ya?" Eila mengangkat alis, menantang. "Menurutmu sikap yang selalu kau berikan padaku itu apa? Kasih sayang?"

Arai mendesis ketika bahu kirinya yang terluka tersenggol saat memperbaiki sandaran punggungnya dipohon. "Selalu kau yang memulainya duluan."

"Apa?" Eila memelototinya tidak terima, hampir memukulnya jika saja dia tidak ingat Arai terluka karena melindunginya.

Kemudian, Eila mendengus keras-keras.

"Apa kau sungguh bisa melihat ini semua? Sungai, pohon, hutan ini?" tanyanya, mengalihkan topik.

Membuat Eila memikirkannya lagi. "Ya," Eila menghembuskan napas berat. "Apa yang kau lihat?"

Jeda panjang.

"Kegelapan." Arai memeluk dirinya begitu angin melewati mereka, menerbangkan rambut legamnya yang setengah basah keringat. "Aku tidak melihat apapun selain hitam, aku—" dia tersendat, "—aku tidak bisa melihatmu. Apa kau terluka?"

"Tidak." Eila menjawab terlalu cepat. Tentu dia terluka, namun hanya luka ringan. Tidak memerlukan pengobatan yang serius.

Arai berdehem. "Apa yang kau ketahui tentang makhluk kegelapan?" matanya berkelana, mencari keberadaan Eila yang berada tepat di depannya.

"Tidak semua makhluk kegelapan dapat dilawan hanya dengan bertarung menggunakan pedang."

Arai mengangguk puas. "Kau harus tetap menjaga pikiranmu dengan aman, mereka tidak hanya melawan secara fisik namun juga mental. Mereka akan menggunakan semua kelemahanmu untuk menaklukkan lawannya. Selalu ingat ini."

...

Eila meneriakkan kata kakak berulang kali. Eila membanting sepedanya, berlari kencang.

Begitu banyak keputusaan dan ketakutan.

Cuaca berubah cepat, dari yang awalnya terik menjadi abu-abu. Udara dingin menguap dimana-mana dan yang tersisa hanyalah kehampaan dan dingin yang mengejarnya. Kemudian–

Teriakan.

Dingin.

Ketakutan.

"Ayah?" Eila berusaha mengguncang tubuh dingin yang memeluknya. Ayahnya bergeming.

Eila dengan tubuh kecilnya meronta-ronta dari pelukan ayahnya. "Ayah! Ayah!"

Tidak ada respon. Ayahnya diam seribu kata, tidak ada kehangatan yang tersisa.

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang