Chapter Twenty-Eight

13 4 0
                                    

GERBANG KABUT INI ADALAH PENJARA. Berisi mimpi buruk tak berkesudahan, mengurung dan mencegah siapapun untuk masuk ataupun keluar.

Dalam balutan gerbang kabut yang setipis sutra abu-abu, udara terasa dingin dan berat. Tidak ada warna lain selain abu-abu, hampir putih. Di dalamnya, suara-suara merdu namun mencengkam merayap-rayap di indranya—membisikkan kalimat-kalimat tidak jelas seolah tengah bercerita. Memberikan kesan mistis yang mendalam.

Eila tertegun, dia mencoba menfokuskan pikirannya. Namun suara-suara itu selalu mengalihkan perhatiannya. Suara yang sama yang biasa Eila dengar tengah malam.

Sedikit lagi. Eila mengingatkan dirinya. Gerbang kabut ini adalah rintangan terakhir mereka yang menjadi pintu masuk dan keluar dari Hutan Kegelapan. Namun kabut ini menyesatkan. Penuh dengan aroma menyeramkan dan mistis. Aroma tanah basah dan mimpi buruk.

Kabut ini diciptakan Tetua untuk mengurung makhluk-makhluk kegelapan yang mengacau di dunia luar. Namun belakangan ini ada celah kebocoran yang membuat makhluk-makluk itu keluar dan kembali membuat masalah.

"Aku bersumpah, kalau kau tersesat, aku akan meninggalkanmu."

Eila menggertakkan rahangnya. Semakin mereka berjalan lebih jauh menembus kabut, semakin terbatas jarak pandangnya. Bahkan siluet punggung Arai sudah tidak lagi terlihat, hanya ada warna pucat.

"Tidak," kata Eila. "Aku—yang akan meninggalkanmu, jika kau menghilang dan tersesat."

"Kalau begitu fokus." Arai frustasi. Ujung pedangnya tersampir di tangannya, menyeret di sepanjang tanah, menciptakan suara gesekan tak berkesudahan sebagai pertanda keberadaannya di tengah-tengah kurungan kabut.

"Aku sedang berusaha, asal kau tahu. Berhentilah mengomel seperti laki-laki tua."

"Menurutmu apa yang terjadi jika aku tidak mengomel? Kau akan tersesat dalam pikiranmu yang liar dan menjadi penunggu abadi hutan ini."

Eila mendekus, namun dalam hati membenarkan. Jika Arai tidak memperingatinya, mungkin pikiran Eila akan merayap semakin liar dan fokusnya menghilang. Tetapi Eila tidak sudi mengakuinya. Itu sama saja seperti dia mengaku kalah.

Eila berusaha mengabaikannya sampai Arai berhenti melangkah. Pedangnya diangkat untuk menyisir sekitarnya.

"Hei–hei–" Eila mundur kebelakang dengan terkejut ketika ujung pedang itu menggores baju petarungnya sedikit, tidak cukup mampu melukainya. "Berhati-hatilah menggunakan pedang!"

"Aku lebih berpengalaman dari pada kau, jika kau lupa." Arai lalu menurunkan pedangnya. "Cepat." Dia mendesak.

Tentu saja. Pemuda ini kepala batu yang menjengkelkan.

Suara gesekan ujung pedang ditanah kembali terdengar.

"Aku bisa mematahkan kakimu sekarang juga."

"Oh—aku yakin kau bisa." Suara pemuda itu lebih ramah. Eila sama sekali tidak menyukai suara itu, Arai tidak pernah bersikap ramah kepadanya. Pasti ada maksud tersembunyi.

Eila memegang kepalanya yang berdenyut-denyut.

Suara bisikan-bisikan itu terdengar semakin dekat. Melodi indah yang membuatnya penasaran dan keinginan untuk terus mendengarnya. Suara yang selama ini selalu Eila abaikan.

Apakah suara ini adalah salah satu peringatan bahwa Eila memang sebenarnya ditakdirkan untuk disini?

Berhati-hatilah pada malam hari. Itulah yang Putri Duyung katakan padanya diakhir pertemuan pertama mereka.

Penyihir yang ditemuinya di ujung pasar juga mengatakan hal yang serupa.

Jika benar, maka Eila telah mengabaikan peringatan mereka.

Dan peringatan Arai.

Jantung Eila terasa terhenti.

Dia mencermati sekitarnya, tetapi yang mampu Eila lihat hanyalah kabut yang sama. Suara gesekan ujung pedang Arai menghilang sepenuhnya.

Dan, Eila tahu—bahwa dia telah tersesat. []

ɴ ɢ ʀ ɪ ʀ ʀ ɴ ɢ

find me on instagram and tiktok, with the same keyword : hifeeza

Negeri Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang