89

3 0 0
                                    

Adzan maghrib beberapa waktu lalu sudah berkumandang tapi kali ini langit masih terlihat cerah, dengan sedikit anomali. Lampu-lampu belum dinyalakan, jendela rumah masih terbuka, beberapa tetangga berkumpul diluar, riuh rendah obrolan tentang langit yang berwarna merah muda, bukan lagi jingga; dan lebih aneh lagi ketika itu terjadi di selatan.

"Hari hampir isya dan langit masih seterang ini."

"Itu indah."

"Ini bukan pertanda buruk kan?"

"Bukankah perlahan rasanya semakin gelap?"

Lampu-lampu dinyalakan. Angin berhembus sedikit kencang membubarkan kerumunan, suhu udara semakin rendah, rasanya tidak pernah sedingin ini.

Kami kembali ke rumah, ada yang aneh saat aku hendak menutup gorden, sejak kapan kaca jendela rumah ini pecah? Kenapa belum diperbaiki? Dan... kenapa kaca jendela sebelahnya berembun? Tidak, embun itu perlahan berubah menjadi lapisan es dan hawa dingin semakin terasa nyata hingga ke tulang.

Angin semakin kencang melewati jendela tak berkaca didepanku. Onggokan sisa potongan triplek di sudut pintu menjadi alternatif untuk menutupnya, untung saja masih ada paku dan palu didekatnya. Dengan panik aku meminta itu semua pada adikku, secepat mungkin berusaha menutup jendela sebelum terlambat.

Sial. Tidak ada potongan yang cukup besar untuk menutupnya sekaligus. Sudah tiga potong tertempel dan setengahnya masih menganga. Double sial karena rasanya paku-paku itu bertarung dengan angin untuk memilih siapa yang lebih kuat diantara keduanya. Dari lubang yang belum tertutup langit tak lagi indah, hitam pekat dengan gurat merah menyala membuatku takut- dan frustasi.

Emosi meluap saat meminta adikku untuk bekerja lebih cepat meskipun dengan tubuh yang gemetar menahan dingin. Tanganku hampir tak bisa menahan triplek yang sudah terpasang. Tidak, jangan lepas, jangan sampai kami harus memulainya dari awal. Langit semakin menyala, dan seakan belum cukup amukan suara guntur menggelegar bersahutan.

Rasanya ingin menangis. Takut dan lelah bercampur menjadi satu. Rasanya ingin menyerah, tapi dibelakang terlihat wajah-wajah pucat pasi yang berharap kami selesai lebih cepat. Sialan, tenagaku hampir habis.

Triplek paling atas terbanting oleh angin. Sial, sial, sial! Aku meraung frustasi. Mengacak adakah hal lain yang bisa kujadikan alternatif untuk menutupnya. Isakan kecil tak jelas berdengung ditelinga, entah itu milikku atau bukan. Aku kembali pada sisa-sisa triplek yang teronggok di sudut, berharap menemukan setidaknya satu yang lebih besar dan kokoh. Tidak ada. Kuraih satu yang paling besar diantaranya, 'daripada tidak sama sekali,' pikirku.

Dan diantara kekacauan yang terjadi, mataku menangkap sosok di sudut lain. Matanya sibuk mengikuti kesana-kemari, tapi sama sekali tak terlihat berniat untuk membantu. Kenapa? Bukankah seharusnya dia yang mengerjakannya? Bukankah seharusnya dia menjadi tempat berlindung kami? Selalu seperti ini ya?

DDDUARRRRRR!!!!

Dan aku terbangun dengan napas yang memburu. Langit-langit dihadapanku terlihat gelap tapi tidak terlihat menakutkan. Jendela kamarku utuh dengan kaca dan gorden yang menutupinya. Hanya dengingan suara malam yang masuk dipendengaranku. Aman. Semuanya balik-balik saja. Napasku pelahan mulai teratur, pikiranku tersusun satu persatu.

Mimpi.

Dan kenapa, dimimpipun kamu masih seperti itu?

21.31
31072024

CAWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang