36

17 1 0
                                    

"Kamu menyesal?"

"Sedikit."

"Apa yang membuatmu
menyesal?"

"Entah... bilang saja ini
ekspektasi yang berlebihan.
Jadi karena tidak sesuai
dengan harapanku, wajar
bukan aku menyesal?"

"Kamu menyesal pernah
berpikir untuk menghabiskan
hidupmu bersamanya?"

"Bukan. Sudah kubilang karena
ekspektasiku yang tinggi.
Aku berpikir bersamanya
menjadi sesuatu yang benar.
Penyesalanku adalah karena
aku sadar, 'kebersamaan'
bukan hal yang tepat untuk
aku dan dia. Aku menyesal
pada diriku sendiri
karena kesulitan menerima
kenyataan bahwa bersamanya
tidak menjadi hal yang tepat."

"Kamu berharap bisa kembali?
Selalu ada kesempatan
jika kamu mau kembali
padanya, jika tidak maka
kamu sendiri yang harus
membuat kesempatan itu.
Itu nggak masalah."

"... tidak. Aku nggak berpikir
untuk kembali. Sebelum
memutuskan kalau kami
nggak bisa bersama, aku
dan dia juga -kurasa sudah
banyak berpikir. Kami
bukan anak kecil lagi yang
memutuskan satu hal karena
emosi, jadi keputusan
ini memang untuk kebaikan
semuanya."

"Menyesal tapi tidak
ingin kembali juga.
Tapi kenapa kamu sampai
terkesan 'gamon' sampai
selama ini?"

"Hahaha. Gamon ya?
Bukannya itu wajar?
Memutuskan untuk berpisah
bukan perkara mudah.
Rasanya sangat wajar jika
aku bertindak seperti itu,
anggap saja hal ini
sebuah 'perayaan'.
Jangankan untuk hal se-
besar ini, milih menu makan
aja bisa bikin galau.
Menurutku kembali juga
bukan sebuah obat. Seperti
aku bilang sebelumnya, ini
bukan keputusan yang di ambil
dengan tergesa tanpa
pertimbangan."

"Perayaan ya? Bukannya
ini sudah terlalu lama
untuk tetap dirayakan?"

"Memangnya siapa yang
bilang aku masih merayakannya?"

"Tapi itu cukup
terlihat jelas."

"Apa yang terlihat jelas?"

"Dia masih sering hadir
dalam obrolan kamu dan
teman-temanmu bukan?"

"...."

"Apa aku benar?"

"Tidak dan ya. Tidak benar
jika kamu menyimpulkan
perayaannya belum berakhir; dan
iya dia masih sering muncul
dalam obrolanku. Tapi itu nggak
bisa dihindari bukan?
Bagaimanapun akhirnya
dia tidak bisa di hapus begitu
saja dari hidupku. Dia akan
tetap ada disana. Dia sesekali muncul dalam
obrolanku, tapi jelas dengan
topik yang berbeda."

"SNS kalian masih terhubung
bukan?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Kenapa bagaimana?"

"Kamu tidak berniat
untuk meng-unfollow akunnya?"

"Kenapa harus? ... jika itu
beberapa tahun lalu, aku akan
menghapusnya tanpa ragu.
Tapi sekarang sudah bukan
masanya lagi, apa yang salah
dengan itu?"

"Masih stalking dia?"

"Hahahaha. Apa kebetulan
melihat postingan terbarunya
disebut stalking? Jika
iya maka aku melakukannya
pada banyak kesempatan dan
banyak orang bukan pada
dia saja. Aku memperlakukan-
nya sama dengan yang lain.
sekarang. Lagipula karena akun
kami saling terhubung cukup sulit
untuk menghindarinya."

"Itu buat kamu lebih sulit
melupakannya bukan?"

"Entah, karena aku tidak
punya niat untuk melupakannya.
Im still his fans anyway hhaha."

"Fans?"

"Ya, semacam itu. Dia cukup
inspiratif menurutku, dan aku
nggak bisa bilang aku
nggak terkesan dengan itu."

"Bukannya itu buat kamu

makin sulit menerima kenyataan
kalau kalian nggak bisa
bersama?"

"Memaksa sekali, aku
tidak akan mengubah
apapun. Menghindar bukan
jalan untuk bisa menerimanya,
justru menurutku menghadapinya
menjadi terapi yang cukup
membantu. Pada akhirnya
penerimaan itu hadir dengan
sendirinya, ingat saja apa yang
baik menurut kita belum tentu
baik di mata Tuhan. Dia baik
tapi tidak baik untuk di ajak
bersama, maka setelah itu
aku bisa mengenangnya dengan
sebuah senyuman."

"Bagaimana jika Tuhan
memang menggariskan kalian
untuk bersama?"

"Tidak masalah, Tuhan tau apa
yang terbaik untuk kami.
Jika Dia bilang iya, kita bisa apa?"

"Tapi bukannya itu harus
diusahakan?"

"Hhaha. Menurutmu apa yang
kami lakukan kemarin apa?
Hidup, mati, rizki, jodoh itu
rahasia Tuhan. Hak mutlak
yang dimiliki-Nya. Tuhan nggak ngasih kita opsi untuk hal itu.
Yang kami lakukan kemarin itu
bagian dari ikhtiar, dan kami
gagal. Jadi kurang usaha
gimana menurutmu?"

"Benar. Tuhan punya banyak
jalan untuk menyatukan atau
memisahkan manusia. Kita
tidak perlu khawatir bukan?"

"Iya. Jangan khawatir."

"Kamu akan baik-baik
saja dan bahagia."

"Tentu saja. Ada banyak
alasan yang membuatku harus
bahagia."

--------------


CAWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang