33

32 2 0
                                    

Untuk kamu yang harapannya aku hancurkan.

Maaf.

Satu kata itu memang tidak bisa mengobati rasa kecewa atau sakit hatimu, aku tau.

Setelah ini kamu boleh membenciku; atau kamu memang sudah membenciku, menganggapku sama seperti yang lainnya atau mungkin lagi lebih buruk dari mereka.

Memang sia-sia saja aku bicara, kamu pasti muak dan tak ingin mendengarkannya. Maaf, tapi aku memang seegois itu. Memalukan bukan?  Setelah semuanya aku masih saja bicara padamu. Harusnya kamu bersyukur karena kita tidak ada di takdir yang sama.

Baiklah, darimana aku harus memulai? Aku... bingung.

....

....

Biar kuberitahu sebuah cerita saja. Cerita yang tidak aku bagi pada sembarang orang. Cerita orang biasa yang mimpinya hampir menjadi nyata.

Hari itu di ruang pertemuan. Aku datang dengan berat hati untuk mewakili atasanku yang datang terlambat. Jelas saja aku tidak senang. Aku suka pekerjaan ini tapi tidak dengan waktu-waktu dimana aku harus berada pada keriuhan. Aku benci keramaian. Aku benci aku jadi sendirian dan disilakan menonton mereka yang bergerombol membentuk kelompok sendiri. Aku benci ketidakmampuanku bersosialisasi dan terlihat menyedihkan.

Hingga pada saat acara dimulai, kamu duduk berbaris didepanku. Bukan sebagai atasan tapi bersama atasan dari atasanku. Kamu dengan kumis dan janggut yang tipis. 'Akhi-akhi,' pikirku kala itu. Disela aku menyimak sambutan dari yang lainnya aku mulai kembali melirikmu. 'Kamu masih muda,' ujarku lagi. Jadi untuk apa kamu duduk disana? Rasa penasaranku entah kenapa begitu besar, tidak seperti biasanya hingga rasanya aku tak sabar menunggu saat pembawa acara mengenalkanmu.

Akhirnya saat itu tiba. Pembawa acara mengenalkanmu sebagai pemateri pertemuan ini. 'Wow,' adalah respon pertama yang terlintas dikepalaku. Sangat keren untuk usiamu yang tergolong masih muda walaupun sebenarnya saat itu aku tak tau berapa tepatnya. Ketika salah satu orangmu mengatakan statusmu yang masih single, aku tidak bisa untuk tidak tertawa entah dengan alasan apa. Penilaianku meningkat kemudian, rasanya pertemuan ini tidak akan begitu buruk.

Kamu memulainya dengan memperkenalkan diri, beranjak dari dudukmu untuk berdiri didepan peserta. Aku tak tahu bagaimana tapi kamu mulai menguasai keadaan. Seperti sihir, aku pun benar-benar lupa bahwa aku berada disana karena terpaksa. Kamu menyampaikannya dengan sempurna membuatku tak bisa untuk tidak mengagumimu. Kamu seperti jelmaan fiksi yang sering berkeliaran dikepalaku. Tentu saja kamu tidak sempurna tapi itu yang membuatmu terlihat lebih realistis. Kamu nyata. Aku tidak bisa mendeskripsikanmu selain dengan satu kata, keren.

Pertemuan itu rasanya berlangsung terlalu singkat. Kamu tiba-tiba sudah melemparkan waktu untuk tanya jawab. Ramai. Mereka banyak memberimu pertanyaan. Aku ingin juga tapi apa yang harus aku tanyakan? Aku bingung dan terlebih lagi, malu. Pada akhirnya aku hanya memanfaatkan waktu untuk memerhatikanmu. 'Sepertinya akan menyenangkan jika bisa dekat dengan orang seperti kamu.' Gila bukan?  Aku menertawakan diriku sendiri. 'Jangan Mimpi!' hardikku.

Waktu berlalu dengan cepat. Bulan berganti dan aku kembali berpijak pada kenyataan bahwa mengenal kamu adalah ketidakmungkinan. Seiring dengan kesibukan kamupun terlupakan.

Hingga suatu waktu kamu datang menyapaku. Rasanya aku tak percaya seseorang sepertimu menyapaku. Aku yang lebih sering terlihat transparan ini? Tuhan sepertinya sedang berbaik hati padaku karena selain membuatmu menyapaku juga lambat laun kita semakin dekat. Aku mulai mengenalmu. Kamu mengingatkanku pada Phineas, tokoh yang aku tonton dalam film The Greatest Showman. Kamu yang tau bagaimana mengejar mimpimu. Begitu luar biasa dan mengagumkan. Bagian-bagian sikapmu yang membuatku yakin kamu memang tak sempurna. Kamu terlihat lebih realistis dan aku suka itu.

Bisa bersamamu rasanya seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Bersamamu aku melupakan ketakutan-ketakutanku. Bersamamu untuk pertama kalinya aku pikir membicarakan masa depan ternyata menyenangkan. Bersamamu aku berpikir untuk melangkah dari batas-batas yang aku buat sendiri. Bersamamu aku pikir komitmen tidak lagi terdengar menakutkan.

Awalnya berjalan lancar. Kita tau kemana kita akan melangkah. Kita optimis dengan apa yang kita jalani sekarang. Saat aku takut melangkah, kamu selalu tau cara menarikku kedepan. Aku pikir aku bisa bertahan hingga akhir.

Sayang, aku ternyata tak sekuat itu atau pengaruhmu tak sebesar yang aku bayangkan. Ketakutan itu muncul kepermukaan sekeras apapun aku menekannya tetap aku tak berhasil. Ada bagian dimana aku merasa tak sanggup menghadapinya. Kamu dengan banyak mimpi dan rasa optimis yang besar. Kamu yang tau bagaimana cara menggapai mimpimu. Kamu yang mengajakku berlari.

Aku mau. Tapi aku tau aku tak akan sanggup. Masih banyak hal yang harus aku selesaikan sebelum meninggalkannya untuk berlari bersamamu. Aku bingung. Inginnya aku tetap bisa memilih keduanya tapi seperti yang pernah kamu katakan, aku harus tau mana hal yang harus diprioritaskan.

Aku takut. Berpisah denganmu tidak ada dalam rencana manapun dalam hidupku. Aku memintamu untuk bertahan sebentar saja, tunggu aku menyelesaikan semuanya dan aku tak akan berpikir dua kali untuk menggenggam tanganmu lebih erat. Sayang menungguku tidak ada dalam daftar prioritasmu.

Kamu hanya kenal dua pilihan. Iya dan tidak. Dan saat aku meminta untuk menunggu, bagimu artinya adalah tidak. Aku ingin protes. Aku ingin mengatakan kalau ini bukan hanya tentang kamu, bahwa aku layak untuk diberi kesempatan karena ini bukan lagi perkara main-main, bukan lagi tentang mimpimu tapi mimpi kita. Sayangnya yang kulakukan adalah membenarkan kesimpulan apapun yang kamu tarik. Salahku adalah tidak bicara jujur padamu. Satu yang aku sesali hingga saat ini.

Yang kamu nggak tau adalah saat keputusan itu dibuat bukan cuma kamu yang hancur, bukan cuma kamu yang tersakiti. Aku juga. Melihatmu yang seperti itu membuatku semakin merasa bersalah. Harusnya  aku diam ditempat, seperti yang selama ini aku lakukan. Harusnya aku tidak sok berani bermimpi bersamamu karena sejak awal aku tau itu adalah ketidakmungkinan. Harusnya aku tidak memulai dan menghancurkan harapan orang yang aku kagumi sejak lama. Memangnya aku siapa?  Kurang ajar sekali.

Harusnya sekarang kita sudah saling melupakan. Maksudku sekarang aku harusnya melupakan karena aku yakin kamu sudah melupakanku sejak awal. Sayangnya ternyata ini jauh lebih sulit dari yang aku bayangkan. Aku menyedihkan bukan? Kamu pasti tertawa. Aku pernah bersama dengan orang lain dalam waktu yang lama, tapi melupakannya bukan masalah besar untukku. Kenapa tidak begitu juga denganmu? Aku banyak bertanya, pada diri sendiri maupun pada temanku. Hasilnya? Semakin banyak alasan semakin membuatku ....

 Aku memutuskan untuk tidak melupakanmu. Aku memutuskan untuk tetap menjadi penggemarmu. Kembali pada diriku yang mengagumi dalam diam. Karena bisa bersamamu adalah kebetulan yang menyenangkan.

Serendipity. Seperti itulah kamu bagiku.

Untuk kamu yang harapannya aku hancurkan.

Begitulah akhirnya. Kamu memutuskan untuk menjadi orang asing yang hanya pernah bersinggungan. Dan selayaknya orang asing tidak ada yang perlu diperhatikan. Tidak apa, aku mengerti.

Seperti aku yang berpikir banyak untuk mengungkapkannya atau tidak. Aku aku tidak ingin menyesal dua kali. Aku sangat tau kecil kemungkinan kamu membacanya tapi setidaknya aku lebih tenang sekarang. Menyedihkan sekali bukan? Tapi sekali lagi tak apa.

Terima kasih, untuk pernah hadir dalam hidupku dan mengajariku banyak hal.

Tetaplah menjadi Phineas yang aku lihat di dunia nyata, temukan Charity yang pantas untuk bersama kamu.



CAWANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang