Sekolah

3 2 0
                                    


    "Kamu baik-baik aja kan, Zita?" Ibuku yang sudah berada di dapur melihatku yangs sekarang berkeringat dingin. Ibuku berjalan mendekatiku dan mengusap keringat di wajahku.

    "Zita, kamu pusing?" tanya ibuku sembari mengusap keringat di wajahku, aku mengangguk sembari menyentuh bagian kepala yang pusing. "Pusing, tapi masih normal sakitnya," ucapku yang sebenarnya adalah bohong, aku tidak benar-benar pusing. Tetapi aku ingin pergi keluar rumah.

    "Kalau begitu, kamu beli obat sakit kepala di toko terdekat ya." Ibuku memberikanku sedikit uang. Aku mengambil uang itu dan mengangguk, berjalan menuju pintu utama. Di saat aku keluar dari rumah, aku berjalan melewati sekolah yang di mana semua murid berkerumun masuk ke dalam pintu gerbang sekolah. Di saat itu pula, aku tanpa sengaja menabrak salah satu murid di situ. Aku melihat wajahnya, ternyata Ia adalah Nonarie.

    "Eh, Zita! Maaf ya!" Ia membantuku untuk berdiri. Ia langsung membungkuk, melambaikan tangannya dan berlari memasuki sekolah.

    Aku melihat sekitar lingkungan sekolah itu, terlihat seperti tidak asing. Aku seperti pernah melakukan sesuatu di luar sekolah ini. Aku melihat ke tanah, terlihat bunga mawar yang tergeletak di tanah. Aku mengambil mawar merah itu. Batangnya sedikit berduri, sepertinya aku pernah melakukan hal yang konyol.

    "Arunika..."

    Menyebut namanya membuat lidahku terasa tertusuk oleh duri dari bunga mawar. Benar-benar hal yang aneh, aku kembali berjalan melewati sekolah itu. Tak lama kemudian, aku bertemu dengan Rafaela yang sedang berdiri di depan toko sepatu. Aku berjalan menghampiri toko itu juga, aku melihat sepatu yang terpajang di luar toko. Aku melihat sepasang sepatu yang benar-benar menarik perhatianku, sepatu bot kulit yang tercantum harganya di sana. Namun harganya begitu mahal.

    Rafaela memutar badannya untuk melihat padaku sepenuhnya. "Zita, kamu mau sepatu itu?" Rafaela bertanya kepadaku. Tapi kali ini, senyumannya sedikit aneh. Senyumannya terasa asing.

    Aku hanya mengangguk. Merasa aneh dengan dirinya hari ini. "Mau aku beliin?" Ia kembali bertanya padaku. Ketika Ia membuka mulutnya, lidahnya tertusuk oleh batang berduri yang ternyata itu berasal dari batang bunga mawar. Mataku terbuka lebar, kemudian menggosok mataku dengan tangan dan perlahan membuka mata dengan beberapa kedipan. Ternyata itu hanyalah Julia yang berada di sekitarku. "Kamu mau aku beliin sepatu ini?" Ia bertanya kepadaku.

    Aku ragu sejenak, terasa canggung saja ketika ada yang orang yang ingin membelikan hal yang aku inginkan. Tapi pada akhirnya, aku mengangguk walau masih terasa canggung. Julia hanya memgangguk dan memasuki toko itu, aku hanya bersandar di jendela toko dan menunggunya untuk keluar. Beberapa memit setelahnya,
Julia keluar dengan membawakan kotak yang berisikan sepatu itu.

    "Julia?! Ini beneran?!" Mulutku terbuka lebar karena terkejut. Julia membuka kotak itu dan mengeluarkan sepasang sepatu dan meletakkan di atas tanah. Aku menunduk dan mulai memasukkan kaki ke dalam sepatu. Aku berdiri dan mencoba untuk menghentakkan kaki.

    "Wah! Ini beneran buat aku?! Terima kasih ya!" ucapku berterima kasih kepada Julia. Julia hanya mengangguk dan menukar sepatunha dengan sepatuku yang usang itu. "Selamat tinggal." Julia membuang sepatunya ke dalam kotak sampah, melambaikan tangannya dan berjalan pergi. Hari ini sedikit aneh, oh ya. Aku harus pergi ke salah satu toko untuk membeli obat pusing.

    Di saat aku berjalan, selalu aja aku melihat orang-orang melihat padaku terutama melihat sepatuku. Mereka melihat sepatuku dengan kagum, sepertinya karena sepatu ini mahal di kalangan kota ini. Tapi aku merasa senang karena hal yang aku punya sekarang tidak membuatku merasa miskin sekarang.

    Aku berjalan memasuki toko pria yang bernama "Sal" itu lagi, pemilik toko serba ada yang menjual banyak hal. Aku memasuki tokonya, berjalan memghampiri meja kasir. "Halo," aku menyapa Om Sal.

    "Halo, Zita. Silahkan pilih apa yang kamu beli." ucapnya. Tanganku ingin meraih obat sakit kepala, namun tiba-tiba saja tangan seseorang mengarahkan tanganku pada obat misterius.

    "Eh?" aku menoleh ke kanan dan melihat Sandra di sebelahku. Dan akhirnya Ia mengambil obat itu dan memberikan tiga lembar uang dan menarik tanganku keluar dari toko. Ia menarik tanganku berjalan di pinggir jalan. "Obat pusing itu tidak penting saat ini, mari kita coba ini"

    Ia membawaku pergi ke toko tua yang kini sudah hangus terbakar. Ia duduk di atas tanah, ia merobek tablet itu dan terdapat pil dan memasukkannya ke dalam mulut dan menelannya. "Ah, enaknya" Sandra menghembus napasnya lega.

    "Itu emang apa, Sandra?" Aku bertanya kepadanya, Sandra hanya menoleh dan tertawa.

    "Kamu ingin mencoba? Nanti saja ya, aku ingin bercerita." ucapnya sembari bersandar di dinding. Mendengar hal itu, pandangan langsung terfokus hanya pada Sandra, jelas penasaran dengan cerita yang akan Sandra ceritakan.

    "Oh uhm, menurut kamu siapa itu Rafaela?" Sandra bertanya kepadaku.

    "Rafaela? Uhm, Rafaela itu orang yang aneh. Ia mengingatkan aku kepada seseorang, seperti aku pernah memberikannya bunga untuk menghiburnya dan..."

    "Apakah lidah kamu berdarah?" Tiba-tiba saja Sandra berkata seperti itu.

    "Maksud kamu?" Aku bertanya kepadanya dengan serius, aku merasakan sesuatu yang aneh pula. Tetapi apa?

    "Oh, kalau begitu. Kamu boleh panggil aku Peramal, tapi aku sebenarnya juga bukan peramal. Sebenarnya aku hanya bisa melihat semuanya. Dan aku puas dengan hal itu semua" Sandra terkekeh. Perlahan aku bersandar di pundaknya.

    "Aku punya cerita, aku sebelumnya bersekolah di tempat itu juga. Dan aku tahu kamu tahu sekolah itu. Aku hidup sederhana, di sekolah sederhana. Tapi semenjak aku melihat murid-murid derajat tinggi itu, aku merasa iri. Karena kenapa aku tidak seperti mereka? Dan aku juga benci perempuan itu, namanya... Seingat aku adalah Arunika. Hidupnya nyaris sempurna dan bahkan namanya muncul di koran. Dan aku akan menjadi yang terkenal, mau tahu apa yang aku lakukan? Aku membuat mereka hilang tanpa kabar." Sandra tertawa setelah Ia menceritakan hal itu.

    Aku terkejut ketika mendengar jawaban itu. Hilang tanpa kabar? "Kamu hancurin hidup mereka dan membuat mereka hilang tanpa kabar?" tanya aku.

    Sandra mengangguk. "Ya, kurang lebih seperti itu, mungkin terdengar jahat tapi ya mau gimana lagi. Sudah terjadi, dan ibu guru sangat marah dan tidak memperbolehkanku untuk ke sekolah. Aku sangat sedih, tapi sepertinya aku harus memprrbaiki segalanya. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana." Sandra menghembuskan napasnya, berdiri dari duduknya dan menepuk kepalaku.

    "Sampai jumpa lagi, saudaraku," ucapnya dengan senyum di wajahnya itu, memberikanku beberapa tablet padaku.

    "Ya, sampai jumpa." jawabku melambaikan tangan. Sandra melambaikan tangannya pula dan berjalan pergi. Beberapa detik setelahnya, aku memutuskan untuk berdiri dan berjala pergi pula meninggalkan toko itu.

    Di perjalanan, aku melewati sekolah itu lagi. Di saat itu pula, aku tanpa sengaja bertemu dengan salah salah satu siswa di sekolah itu.
Sebelum Ia pergi, aku menarik pundaknya. Ia menoleh dan memiringkan kepalanya.

    "Ya? Ada apa?" tanya lelaki itu.

    "Kamu kenal Sandra?" Aku bertanya kepadanya, berharap bisa mendapatkan jawaban.

    "Sandra? dia itu sebelumnya teman sekelas aku. Tapi sekarang sudah hilang kabar. Tapi aku masih ingat kalau Ia sebelumnya pernah dimarahi Bu guru. Tapi aku merasa aneh, apa yang membuatnya berhenti bersekolah," Lelaki itu menggelengkan kepalanya.

    "Kalau begitu terima kasih atas informasinya, sekali lagi terima kasih," Aku menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih.

    "Ya, sama-sama." Ia tersenyum dan melambaikan tangannya. Di saat itu pula, aku kembali berjalan, berjalan menuju pulang. Aku mengetuk pintu itu dan membukanya.

    "Aku pulang."

---

   

Siapa itu Rafaela? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang