"Hari berjalan semakin cepat..." ucapku mengeluh setelah bangun dari tidurku. Aku berjalan keluar dari kamarku menuju dapur. Aku melihat tepung terigu, telur, susu cair, soda kue dan gula tertata di meja.Aku juga melihat kertas yang bertuliskan 'Kamu buatin kue ya? Ibu lagi sibuk. Oh iya kuenya jangan lupa di bagi ya!' Aku mengambil kertas itu dan merobeknya. Aku memasukkan beberapa bahan itu dan mengaduk rata, dan aku menuangkan adonan itu ke dalam loyang, memasukkannya ke dalam oven sederhana. Aku menunggu sembari
membersihkan mangkuk kotor. Sekian lama menunggu beberapa menit. Aku mendengar suara dari oven yang membuatku menghampiri oven dan membukanya, aku mengeluarkan adonan itu dengan kain. Meletakkannya di piring kosong."Kuenya terlalu besar..." ucapku, sepertinya aku memberi tepung terlalu banyak dan bahan lainnya.
Aku langsung menyelimuti atas kue dengan krim, kemudian menumpuknya menjadi tiga lapisan kue. Aku menyelmut semua bagian kue dengan krim berwarna putih, dan yang terakhir. Aku meletak beberapa potongan stroberi dan keju di atasnya.
Aku mengambil sepotong kecil dari kue itu untuk mencicipinya. Aku mengambil potongan itu dengan tanganku dan memakannya. "Tidak terlalu manis, tapi ini lebih enak." Dan langkah terakhirnya, aku memotong semua kue itu dan memasukkannya ke dalam kota satu per satu. Dan memasukkanya ke dalam tas besar yang bahkan aku tidak ingat ternyata ada di sini sekarang. Aku memasukkan semua kotak itu ke dalam tas. "Urusan cuci pikir nanti aja." ucapku, membuka pintu. Dan aku mengambil dua pil dalam kantong dan meneguknya dibantu dengan sedikit air.
Aku menutup pintu ada berada di belakangku, aku berjalan dan menawarkan beberapa kue pada orang lain dengan gratis. Sekarang hanya terdapat sisa lima kotak, sepertinya aku akan mengunjungi beberapa rumah. Rumah pertama, adalah rumah Julia. Aku mengetuk pintu, tak lama kemudian Ia membuka pintu.
"Ya? Ada apa?" tanya-nya, matanya berkaca-kaca. Mungkin karena kejadian itu, itu memang salahku. Tapi kali ini aku akan memberikannya kebahagiaan. Aku mengeluarkan salah satu kotak padanya, Julia memiringkan kepalanya dan mengambil kotak itu. "Terima kasih banyak." ucapnya dengan tersenyum. Setelah itu, aku kembali berjalan. Dan kali ini, aku melihat rumah dengan pintu yang terbuka.
Aku berjalan menghampiri rumah itu, aku melihat Kimo yang sedang menonton televisi. "Kimo." Aku memanggil namanya. Ia menoleh dan menatapku dengan senang.
"Zita! Terima kasih atas segalanya ya, aku harap, Julia akan memaafkanku atas kesalahanku," ucapnya tersenyum lebar. Senyumannya membuatku tersenyum pula, mengeluarkan kotak berisikan satu potong kue di dalam. "Ini buat kamu." Aku memberikan kue itu padanya. Ia langsung saja mengambil kotak itu dan menatapku dengan mata yang berbinar.
"Terima kasih! Dan aku punya jaket hitam buat kamu, terima ya." Ia mengambil jaket dan memberikannya kepadaku. Aku mengangguk sebagai tanda terima kasih, melambaikan tangan padanya dan keluar dari rumah itu. Aku melanjutkan perjalananku sembari menggunakan jaket hitam itu.
Aku kembali berjalan, kini aku menyebrangi jalanan memggunakan jembatan. Di jembatan, aku melihat seseorang yang sedang terdiam di sana. Aku menghampiri pria itu, di saat Ia menoleh. Aku langsung mengetahuinya bahwa Ia adalah ayahnya Arunika yang juga muncul wajahnya di koran. "Oh, halo Zita." sapa pria itu menyebutkan namaku.
Ia terlihat sedang menggenggam kalung dengan permata berwarna merah. "Zita, apa kamu benar orangnya? Sepertinya Ia. Putri saya menceritakan saya tentang kamu. Katanya kamu memberikan kejutan, yang buat lidah kamu berdarah karena duri dari bunga mawar. Apa saya benar?" ucapnya dengan senyuman.
Aku hanya menganggukkan kepala, memberikan kotak kue kepadanya. Pria itu menerima kotak itu dengan halus. "Zita, kamu terlihat pucat. Dan baju kamu kotor. Semoga kamu baik-baik saja ya," ucapannya memberikanku semangat.
"Terima kasih." Aku melambaikan tangan. Di saat Ia melambai balik. Aku kembali berjalan pergi melewati jembatan itu. Di perjalanan pula, aku melihat toko. Aku memasuki toko itu, melihat pria bernama Sal yang sedang berjaga di meja.
"Halo, Zita atau Serafine. Selamat datang. Kamu mau beli apa?" ucapnya sembari tersenyum.
Aku hanya memberikan kotak kue padanya yang kini tersisa satu di dalam tasku. "Kue? Kamu anak yang manis, Zita." Ia menerimanya dan menganggukkan kepala. "Terima kasih."
Aku hanya menngangguk. Melambaikan tangan lalu keluar dari toko itu.
Berjalan kaki dengan waktu yang lama memang melelahkan, ya? Tapi itu membuatku sehat, dan sekarang aku senang karena sudah memberikan kebahagiaan pada orang lain dengan memberikan mereka kue. Aku sangat bahagia. Aku kembali berjalan, perlahan, kepalaku menjadi pusing dan rasanya seperti menampung beban seratus kilogram. Walaupun begitu aku harus semangat, karena aku sudah memberi kebahagiaan. Sekarang hanya tersisa satu. Aku melanjutkan jalanku, aku melihat orang-orang menatapku dengan rasa takut, jengkel dan terkejut.
Tapi untuk kali ini, untuk apa peduli pada mereka semua. Mereka hanya memandang seseorang hanya dengan sebelah mata mereka, mereka tidak akan mengerti. Tapi walau begitu, aku lebih baik memberi satu kotak kue ini pada seseorang. Jalan pun perlahan menjadi sepi,
Aku lanjut berjalan. Hingga aku melihat sekolah itu lagi, sekolah satu-satunya di kota ini. Sayang sekali jika sekolah ini terlibat dalam suatu kasus akibat perbuatan Sandra. Mungkin Aku bisa membantunya. Aku membawa tasku dan membukanya. Tanpa ku dangka ternyata terdalam kumpulan coklat di dalam tas itu.
"Ini mungkin akan sangat menyenangkan!" Aku kembali menutup tas itu dan melihat pintu utama sekolah itu terbuka. Aku mengayunkan tas itu dan melemparkanmya masuk ke dalam sekolah itu. Aku kembali berjalan dengan gembira, akhirnya aku dapat membuat orang lain bahagia. Semuanya berbahagia karenaku.
Di saat itu aku bertemu dengan Apir, satu-satunya yang membenciku. Mungkin Ia ada benarnya, Aku dan dia memang sedarah. Ia membenci selalu. Mungkin aku harus meminta maaf padanya. Aku mendekatinya dan menepuk pundakknya. Ia menoleh untuk melihat ke belakangnya, Apir memutar badannya untuk melihat kebelakang.
"Kamu gila ya?!" Ia berteriak."Apir, maksud kamu apa? Aku cuman ingin minta maaf," Aku melangkah maju, namun Ia melangkah mundur dariku. Apa yang salah dariku?
"Pembunuh!" Ia memanggilku seperti itu. Aku mengedipkan mataku beberapa kali dan melihat ke bawah. Aku melihat noda di bajuku, dan senjata tajam di tanganku. Jadi selama ini, aku membunuh mereka? Bukan memberikan kue pada mereka. Ow.
Aku menggenggam pisau itu dengan kuat, berlari padanya. Apir berteriak histeris, berlari dariku. Aku mengejarnya dari belakang, Ia harus menjadi yang terakhir. Namun, sayangnya Ia berlari di tempat yang aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku memyerah, akhirnya aku berjalan menuju pulang. Aku membuka pintu rumah, rumah terasa sunyi. Tanpa suara televisi, tanpa suara ibuku. Aku menasuki rumah, suara yang dapat terdengar hanya hentakan kaki.
Aku perlahan membuka pintu kamar ibuku, ibuku terselimuti oleh selimut. Aku perlahan mendekatinya, aku melihat noda berwarna merah dari selimut itu. Aku juga melihat kertas terselip di bawah bantal. Aku mengambil kertas itu dan membuka lipatannya.
'Anakku Zita yang tersayang, maaf bila ibu tidak bisa menjagamu, maaf bila ibu tidak pernah memperhatikanmu. Ini semua salah ibu. Semenjak kematian ayahmu, ibu tidak bisa berpikir lurus. pikiran ibu kacau, ibu selalu pergi kemanapun yang bahkan kamu tidak tahu di mana. Maaf sayang, maaf. Jangan nyusul kita ya, zita. Ini bukan salah kamu.'
Aku meremuk kertas itu dan membuangnya di sembarang tempat. Perlahan, aku menarik selimut itu. Pisau tertancap di dada ibuku. Darah itu sudah kering. Aku benci segalanya. Aku benci hidupku.
"Oh. Apa ini yang disebut 'takdir'?" Air mata mengalir di pipiku sedikit demi sedikit. Hebat, sangat hebat. Aku terpesona, aku puas. Sangat puas...
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa itu Rafaela?
Cerita Pendek"Kamu siapa?" menceritakan tentang perempuan bernama Zita yang bertemu dengan orang baru, orang baru itu terkenal pula di kota itu pula. Tetapi orang itu mengingatkan Zita tentang orang yang pernah Ia temui. Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kita...