"Pil apa ini?" Aku bertanya kepada diriku sendiri sembari memegang pil yang baru saja di berikan Sandra. Warnanya putih polos, apa yang spesial dari pil ini?Di saat aku berjalan, semua orang yang berada di sekitar jalan melihat kepadaku,mereka semua terkihat seperti kagum dengan penampilanku, aku telah menjadi perhatian publik. Di sisi lain, aku tanpa sengaja bertemu dengan Julia yang sedang bersandar di depan pintu gerbang sekolah. Wajahnya terlihat murung, Ia tidak terlihat memakai alas kaki dan terdapat memar di kakinya. "Julia?" Aku menyembunyikan pil itu dan berjalan menghampirinya.
"Oh? Halo," Julia hanya melambaikan tangannya padaku.
Aku mengembalikan kamera itu kepada Julia. "Julia, kaki kamu kenapa? Kok luka?" Aku bertanya kepadanya, merasa prihatin dengan apa yang terjadi padanya. Kepalanya tertunduk untuk melihat luka memar pada kakinya. Julia hanya tertawa, dan memasukkan kamera itu ke dalam tas miliknya.
"Itu sudah menjadi hal yang biasa. Sebelumnya mereka hanya menghina, tapi sekarang mereka udah main fisik. Tapi mungkin emang salah aku sih," jawabnya.
"Kalau begitu, aku bakal kasih kamu sepatu aku deh. Mau sebelah atau dua-duanya?" Aku melepas salah satu sepatuku dan memberikannya kepada Julia.
"Kalau begitu, terima kasih, Zita." Bibirnya melengkung ke atas, memakai sebelah sepatuku di kaki kirinya.Julia mengambil tangan kananku, berlari keluar dari lokasi sekolah. Di jalan banyak bebatuan, itu sakit. Tapi lebih baik menggunakan satu sepatu daripada tidak memakai sepatu sama sekali. "Zita! Apa kamu ngerasa sakit?!" Ia bertanya kepadaku sembari berlari di pinggir jalan.
"Sakit! Tapi lebih baik daripada tidak pakai sepatu!" Aku menjawab pertanyaannya sembari tertawa puas. Pada akhirnya, Julia pun sampai ke rumahnya, napasnya terengah-engah. "Terima kasih untuk sepatunya ya, Zita," ucapnya sembari melepas sepatu itu dan memberikannya kepadaku.
Aku mengambil sepatu itu dan kembali memakainya di kaki kiri. "Julia, kamu yakin memar kamu di kaki bakal sembuh? Itu udah parah loh," aku bertanya kepadanya. Julia hanya tertawa sembari mengelus kepalaku.
"Aku masuk ke dalam dulu ya, hati-hati di jalan ya." Julia melambaikan tangannya, berjalan memasuki rumahnya. Aku melihat kebawah dan masih menggenggam pil itu di tanganku.
"Coba aja tadi aku tanyain dia pil apa ini, bentuknya memang seperti obat biasa." Pada akhirnya aku pergi dari rumah itu. Aku berjalan menuju toko yang sebelumnya aku datangi. Aku membuka pintu toko, terlihat pemilik toko sedang membaca korannya dengan serius. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" tanya pemilik toko itu.
Aku meletakkan pil itu atas meja. "Kalau boleh tau, ini semacam obat ya?" Aku bertanya kepada lawan bicaraku.
"Maaf, saya ga pernah liat obat seperti. Sebelumnya saya memang pernah liat obat seperti ini. dan dengan yang saya dengar, obat ini berbahaya, lebih baik kamu jangan minum obat itu ya," ucap laki-laki itu dengan senyuman.
"Siapa nama kamu, Nak?" tanya Ia dengan matanya yang sedikit menyipit
"Serafine Zita," Aku menjawab pertanyaannya dengan nada yang melemah.
"Salam kenal, Sera. Saya Sal." jawabnya dengan senyuman. Aku menundukkan kepalaku, mengambil pil itu dan keluar dari toko. Di perjalanan, rintik hujan perlahan jatuh ke tanah, yang kemudian muncul hujan deras yang membuatku berlari menuju halte. aku membuka tanganku untuk memastikan pil itu masih berada di tanganku.
"Zita," Aku mendengar seorang laki-laki yang berada di sisi kiri. Saat aku menoleh ke kiri, terlihat Apir sedang berdiri di ujung.
"Ya?"
"Mati aja sana, brengsek," tiba-tiba saja Apir mengatakan itu padaku, mengapa Ia tiba-tiba saja berkata kasar padaku? Apakah ada sesuatu yang terjadi.
"Kamu ada masalah apa sih sama aku?" tanyaku padanya, karena memang aku tidak menyangka bahwa Ia akan menghinaku seperti ini.
"Sebenarnya, nonarie itu selalu mengikuti kamu. Biar dia bisa jaga kamu dari bahaya, tapi dia tanpa sengaja lihat nonarie. Dan sepertinya Ia sudah menemukan mangsa baru. Jika nonari dalam bahaya, aku bakal salahin kamu, Sera," ucapnya terlihat meremehkanku.
"Tapi harus banget ya nyuruh aku mati kayak gitu?" tanyaku.
"Pokoknya salah kamu. Karna pada awalnya juga Ia yang berusaha membantumu mencari 'tujuan' itu." ucap Apir. Melihat ke arahku.
"Obat apa itu?"
"Oh, hanya obat biasa. Aku lagi batuk hari, aku membeli satu," Aku menunjukkan pil itu padanya. Apir hanya menggelengkan kepalanya. "Itu terlihat seperti obat-obatan yang terlarang, ya sudah lah. Terserah kamu." Apir menghela napasnya, berjalan pergi meninggalkan halte. Seluruh bajunya menjadi basah karena hujan lebat.
Setelah hujan mereda, aku berlari pergi ke rumah. Aku mengetuk pintu rumah dan membuka pintu itu. Di dalam rumah, terdapat ibuku sedang menyapu di dalam rumah. Ia menoleh padaku, berjalan dan berlutut padaku "Sera, kamu kemana aja? Kok tadi ga bilang?" tanya Ibuku sembari mengambil tanganku. Aku mengepalkan tangan sebelahku ke belakang untuk menyembunyikan pil itu.
"Maaf ya, Bu. Besok-besok aku kasih tahu Ibu," Aku menundukkan kepala.
Ibuku berdiri dan kembali melakukan pekerjaannya. Aku berjalan menuju kamar, aku masih penasaran dengan pil ini. Aku mengambil koran dan duduk di kursi, aku mencari seluruh informasi tentang Arunika di koran ini. Hidupnya terdengar nyaris sempurna. Dengan paras wajah yang memukau, dan di berikan pendidikan yang sesuai. Terasa menyedihkan jika Ia sebenarnya mati di bunuh, jika Ia benar-benar dibunuh. Siapa yang akan menjadi tujuanku?
"Mungkin pil ini akan membantu." ucapku sembari tersenyum.
Aku menutup koran dan meletakkannya di meja. Di sini lah akan aku mulai, mungkin ini obat terlarang. Tapi aku juga igin tahu maksud Sandra, si lelaki aneh itu. Aku menaruh pil itu ke dalam mulutku, menelan obat itu tanpa air. Aku mulai berbaring di kasur, perlahan aku menutup kedua mata.
Pil itu membuatku mengantuk, aku ingin cepat tidur rasanya. Pil ini efektif, aku ingin merasakannya sekarang juga."Selamat malam..." Sebelum aku dapat tertidur, lampu kamar tiba-tiba mati begitu saja. Aku menoleh untuk melihat pintu di depan. Ada perempuan misterius di depan pintu, aku tidak dapat melihat wajahnya. Kamar terlalu gelap.
"Siapa itu?" Tanganku berusaha meraih sosok itu, namun perlahan pandanganku kabur. Aku juga merasa mengantuk, pada akhirnya aku jatuh tidur di kasur. Aku tidak dapat melihat wajahnya, bahkan sekalipun aku tidak melihatnya.
Walaupun begitu, aku masih bisa mendengar. Aku dapat mendengar suara lembutnya, suaranya terdengar menenangkan. Begitu lembut dan lemah, namun suara itu terdengar asing. Aku mendengarnya, aku mendengarnya. Ia mengucapkan sesuatu, "Selamat malam, Zita." Sebelum akhirnya aku benar-benar tidur terlelap.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa itu Rafaela?
Cerita Pendek"Kamu siapa?" menceritakan tentang perempuan bernama Zita yang bertemu dengan orang baru, orang baru itu terkenal pula di kota itu pula. Tetapi orang itu mengingatkan Zita tentang orang yang pernah Ia temui. Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kita...