"Kau tak langsung tidur setelah kelas cressent moon?" Tanya Haechan dengan tangan yang sesekali mengelus punggung tangan Renjun yang ada di genggamannya.
Haechan dan Renjun duduk bersisian dengan Renjun yang menyenderkan kepalanya pada bahu kekasihnya, sementara tangan mereka yang saling bersentuhan kini saling menggenggam.
Pertanyaan Haechan itu terlontar karena Renjun yang mengeluh mengantuk, dan kondisi Renjun yang mengantuk bukanlah sebuah kebohongan. Karena memang semenjak bayangan masa depan itu Renjun dapat, ia merasa tak bisa dengan nyaman tidur nyenyak. Bayangan singkat itu terus berputar di kepalanya, mengganggunya.
Tapi ia tak mengatakan alasan sebenarnya ia masih mengantuk pada Haechan, ia mengatakan hal lain.
"Amorith harus bisa aku capai." Renjun mengatakannya seolah ia banyak berlatih dan belajar ulang hingga membuatnya kurang tidur.
"Kau unggul di dua kelasmu itu, besar kemungkinan kau bisa ke amorith." Ujar Haechan.
Mendengar itu Renjun tersenyum, ia selalu senang setiap mendengar Haechan yang memberinya banyak kepercayaan diri dengan kemampuannya. Karena ia memang benar-benar ingin bisa ke Amorith.
Sebagai ungkapan rasa senangnya, Renjun mengecup daun telinga Haechan.
Dan terdengarlah kekehan senang yang keluar dari Haechan, sangat jarang kekasihnya memberi wujud afeksi lebih dulu. Jadi ketika ia mendapatnya, itu bisa dibilang hal langka.
"Sudah mau meramalku?" Tanya Haechan tiba-tiba.
Renjun yang barusan sempat memejamkan matanya, kini terbuka lagi karena mendengar pertanyaan kekasihnya itu.
Sebelumnya Renjun selalu menolak permintaan Haechan yang selalu mengatakan ingin Renjun meramalnya, atau semacam membaca sedikit garis takdirnya. Renjun tak mau melakukannya karena tak mau ditertawakan atas ramalan yang ia ucapkan, ia tau betul bagaimana sifat Haechan. Dan rasanya ia bisa membayangkan reaksi Haechan jika ia mengatakan hasil dari percobaannya meramal anak itu.
Dan sekarang Renjun semakin enggan mencoba meramal Haechan, seolah ada tekanan lebih besar agar dirinya tak mengatakan apapun tentang kekasihnnya, potongan bayangan yang ia dapat kemarin benar-benar mengganggunya.
"Nanti aku akan memberimu banyak ciuman sebagai imbalannya, itu imbalan yang hanya bisa aku yang memberinya. Itu imbalan mahal untuk ramalanmu." Haechan mengatakannya dengan nada meyakinkan, seperti orang yang tengah menawar harga.
Renjun berdecak dengan tingkah kekasihnya itu, lalu ia mencubit pinggang Haechan.
"Kau begitu tak ada habisnya membujukku untuk melakukan itu, ini bahkan mulai hisa disebut pemaksaan."
Mendengar omelan itu, Haechan hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan senyum lebar. Membayangkan raut lucu Renjun saat mengomel.
Posisi duduk mereka masih dengan Renjun yang menyenderkan kepalanya pada bahu Haechan, membuat Haechan tak bisa melihat wajah Renjun saat mengatakan semua kalimat itu.
"..aku sudah mengatakannya, kalau aku tak mau mendengar tawa menyebalkanmu." Renjun menekankan dua kata terakhir dengan nada kesal.
"Aku bersumpah tak akan menertawakanmu." Sahut Haechan.
Tangan Renjun memukul pelan lengan Haechan, merasa bahwa ucapan Haechan yang satu itu tak bisa dipercaya. "Kau mengatakan hal yang serupa ketika aku mengatakan kau jangan merusak lemarinya."
Dan tawa Haechan terdengar sekali terhiburnya dengan kalimat penuh dendam milik Renjun itu.
"Kau tak mau mencobanya? Sekali saja." Bujuk Haechan sekali lagi, ia penasaran dengan apa yang akan Renjun temukan atau perkirakan tentang takdirnya.