11

287 46 1
                                    

"Jace, turunkan aku. Apa yang kau lakukan?" Nita bertanya dengan kesal. Dia membuat mereka berdua menjadi malu. Melihat tatapan banyak orang yang tersenyum penuh arti, Nita merasa tidak dapat menyembunyikan wajahnya.

Jace benar-benar menurunkannya tapi di dekat mobil mereka. Pria itu kemudian membukakan pintu mobil dan segera mendorong Nita masuk. Nita tidak melawan, dia masuk meski saat ini dia membutuhkan makanan. Sepertinya Jace sedang tidak dalam perasaan bisa diajak berkompromi. Entah apa yang begitu membuat pria ini kesal.

Nita terlalu pusing untuk memikirkannya.

Setelah memakai sabuk pengaman, dan memastikan Nita juga mengenakannya dengan benar, Jace segera menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya.

Nita yang sempat menatap ke belakang dan melihat Kent sedang berlari ke arah mobil segera saja berteriak. "Jace, kau meninggalkan Kent."

"Dia bisa pulang sendiri."

"Tapi ...." melihat wajah dingin suaminya, Nita tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Dia segera duduk dengan tenang dan mobil berjalan dengan normal.

Beberapa saat yang ada di dalam mobil itu hanya keheningan yang panjang dan menjenukan. Nita yang tidak tahan segera memandang ke arah pria itu. Memberikan tatapan tajam agar Jace mengerti dan melihat kalau dia sedang menatapnya, mungkin itu akan membuat sadar dan segera bicara dengannya.

Tapi jelas-jelas pria itu tidak mau membalas tatapannya. Malah terus sibuk dengan kemudinya yang membuat Nita kesal juga. "Katakan sekarang, apa aku melakukan kesalahan?"

Hening.

Nita menyugar rambutnya yang panjang dengan kasar. Dia habis kesabaran. "Kau menyeretku pergi, menggendongku dengan paksa dan mendiamkanku kemudian. Apa yang salah denganmu? Apa kau salah minum obat? Dan aku lapar, makanan sudah akan datang tapi kau malah membawaku pergi tanpa banya ucapan. Aku tidak makan dari pagi. Aku sibuk memasak untukmu, untuk berterima kasih. Tapi sepertinya aku salah melakukannya, aku harusnya tidak pernah melakukannya."

Jace bukannya meladeni amukan gadis itu, dia malah menancap gas dan segera melajukan mobilnya dengan kencang. Pria itu berkendara seperti orang yang kehilangan kewarasannya.

Nita memegang sabuk pengamannya dengan khawatir. Jantungnya terasa dibawa naik rollercoaster saat pria itu menyalip satu per satu mobil hingga dia berhenti di depan sebuah bangunan yang tampak elegan.

"JACE!" seru Nita marah. "Aku tidak akan pernah sudi lagi satu mobil denganmu." Nita melepaskan sabuk pengamannya dan segera turun sebelum pria gila itu kembali membawanya mengebut dengan alasan tidak jelas.

Dia sudah akan melangkah pergi saat dia mencium aroma masakan yang sepertinya baru dihidangkan. Saat dia menatap ke gedung di belakangnya, yang tadi tidak dia perhatian, Nita melongo dengan cacing di perutnya yang berontak meminta diisi. Nita sampai memegang perutnya dan sepertinya dia bisa merasakan air liurnya jatuh mencium aroma menggoda yang harusnya berasal dari dalam sana.

Jace berdiri di sisinya, mengusap bibirnya yang membuat Nita menepisnya. Pandangan mereka bertemu dengan mata gadis itu yang menyatakan kalau dia belum memaafkan.

"Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau kau lapar? Kau juga yang bilang kalau dari pagi kau belum makan. Aku membawamu ke sini dan masih tidak senang."

Nita menatap kesal. "Kalau kau memang mau membawaku makan, tidak perlu mempertaruhkan nyawaku segala."

"Aku hanya tidak mau kau sampai kelaparan." Jace bergerak masuk tanpa menunggu dan mempersilakan.

Nita memberikan kepalan dan ingin sekali memukul kepala pria itu. Tapi pria itu sudah menjauh. Saat Nita ingin meninggalkannya dan membiarkan saja dia makan sendiri, perutnya tidak setuju. Malah dengan penuh semangat perutnya menyatakan ingin masuk ke dalam untuk mencicipi makanan di dalam sana. Apakah aromanya selezat rasanya.

Jadilah dengan harga diri yang dia hempaskan, Nita bergerak mengikuti Jace yang sepertinya sedang merayakan kemenangan di kepalanya sekarang. Karena dia berhasil membawa Nita mengikuti langkahnya.

Nita berpikir mungkin jika makanan itu buruk, dia akan bisa menudingkan ketidakbergunaan pada suaminya. Tapi saat dia sendiri tidak terlalu yakin, harusnya dia tidak membawa persangka ke dalamnya.

Karena saat makanan itu keluar dan Nita mencicipinya, dia berani bersumpah, makanan di tempat itu rasanya begitu lezat dan begitu sesuai dengan lidahnya. Bahkan kenikmatan yang dia dapatkan dari makanan itu tidak dapat dia sembunyikan sama sekali. Saat tatapannya dan Jace bertemu, Nita tersenyum dengan sangat lebar dan penuh terima kasih.

Tidak salah dia menunda makan sampai berhasil mencicipi makanan selezat ini.

Nita yang sibuk makan tidak memperhatikan kalau dia makan sendiri. Jace tidak menyentuh makanan sama sekali padahal dia memesan seharusnya untuk dua porsi. Setelah Nita hampir menyelesaikan makanannya barulah dia sadar kalau sejak tadi yang dilakukan Jace hanya memandangnya. Seolah dia menjadi objek sempurna untuk setiap sisi tatapan matanya.

Meletakkan sendoknya, Nita menatap pria itu balas. "Kau tidak makan?"

"Sudah makan."

"Makan apa? Kau selalu bersamaku, aku tidak melihatmu makan. Berpisah sebentar tadi?"

"Saat kau mandi. Aku makan makanan yang kau bawa."

"Kau sungguh memakannya?"

"Ya. Kenapa?"

"Aku pikir kau tidak akan memakannya. Pelayan di rumah berkata kalau tampilannya buruk. Dan rasanya ... mereka bahkan tidak berani mengatakannya. Jadi aku menyimpulkannya kalau rasa dan tampilannya sama-sama tidak mengecewakan. Buruk."

"Sepertinya memang begitu. Saat aku memakannya, aku bahkan tidak menemukan di mana letak kau mau mengucapkan terima kasih padaku. Karena aku seperti mendapatkan hukuman darimu dengan memakan masakan buatanmu."

"Jace," tegur Nita yang sudah habis kesabaran oleh pria itu yang terus mengujinya.

Dia tentu saja tahu kalau dia tidak bisa masak. Tapi apa salahnya memuji sedikit. Bukannya memberikan fakta yang tidak menyenangkan. Lantas apa Nita lebih suka Jace berbohong dan mendamaikan perasaannya?

Nita memikirkannya dan sepertinya dia juga tidak terlalu menginginkan kebohongan yang dia sendiri tahu kalau itu semua kebohongan.

"Aku menghabiskannya. Tenang saja. Tidak ada yang dibuang."

"Sungguh?"

"Apa aku perlu menunjukkan CCTV ruanganku padamu? Kau akan melihat aku memakan semuanya di sana."

Nita mendengus. "Itu berlebihan dan tidak perlu. Baiklah, aku percaya padamu." Nita menghabiskan satu suapan terakhir makanannya dengan desahan lega.

"Kau habiskan yang ini juga." Jace mendorong makanan ke depan Nita.

"Apa? Kau bercanda. Aku kenyang."

"Lalu kau mau menyiakan makanan yang di mana banyak orang di luar sana tidak bisa mendapatkan makanan mereka dengan layak? Kau tudak menghargai makanan namanya."

"Kau sudah tahu tidak makan kenapa malah memesan untuk dua porsi. Sekarang kau memakai hati nuraniku untuk memaksa aku menghabiskan makanan yang kau pesan. Perutku sudah penuh."

"Baiklah, biarkan membuangnya." Jace mengatakannya dengan nada lesu dan itu membuat Nita mengambil piring itu dengan marah.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa ya
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Turun Ranjang Demi Anak (SAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang