Nita selesai dengan makanannya dengan perut penuh. Dia bahkan bersendawa dan beberapa kali harus menghela napas sejenak. Itu membuat langkahnya juga pelan tapi dia akhirnya bisa sampai ke mobil tanpa memuntahkan makanan itu di jalan.
Pandangannya jatuh pada Jace yang baru saja masuk ke mobil. Menatap pria itu masih dengan kekesalan yang sama, Nita mendesah. Dia menekan kepala belakangnya ke sandaran mobil. Kemudian memejamkan mata ingin melewati waktu tanpa banyak berkeluh kesah. Dia lebih suka tertidur saat ini. Sepertinya itu cara yang bijak.
Tapi Jace memutuskan tidak membiarkannya. Bukannya menyalakan mobil dan membiarkan mereka pulang, Jace malah menatap Nita sampai Nita yang memejam merasakannya. Dia membuka mata dan benar saja, mata itu tengah mengawasinya.
"Apalagi sekarang?" tanya Nita dengan lelah. "Aku tidak ingin bertengkar."
"Pria itu ... dia sungguh cinta pertamamu?"
Nita mengerut. "Siapa?"
"Jangan bodoh, kau tahu siapa yang aku maksud."
Nita segera duduk dengan tegak, memandang pada Jace dengan otak mulai menyambungkan semuanya. "Tunggu, apakah itu yang membuatmu sangat kesal? Karena pria itu cinta pertamaku atau katena pria itu bertemu denganku. Yang mana yang membuatmu terus mendiamkan aku?"
Jace diam.
"Oh, ya ampun. Keduanya?"
Diam lagi.
Nita mendorong dada Jace dengan kesal. "Aku memiliki hubungan dengannya hanya beberapa minggu, tiga minggu kalau tidak salah. Ada perempuan gila yang mengejarnya jadi saat dia meminta aku menjadi kekasihnya demi menyelamatkannya, aku tentu saja setuju. Dan itu terjadi bertahun-tahun yang lalu saat aku baru tiba di kota di mana aku tinggal dulu. Aku bahkan lupa pernah memiliki hubungan itu jika dia tidak menyebutkannya. Puas?"
Jace mengangguk dengan agak tidak peduli. Dia sudah menyalakan mesin mobil dan mobil melaju dengan tenang. Kemudian tanpa Nita melihatnya, pria itu menguraikan senyumannya. Dia terlalu termakan emosi dan cemburu. Dia sampai tidak melihat garis jelasnya.
Beberapa saat dalam keheningan, Nita menepuk lengan Jace. "Berhenti di depan."
"Kenapa?"
"Ada yang harus aku beli. Kalau kau tidak mau menunggu, kau kembali sendiri. Nanti aku bisa naik taksi saja."
Jace berhenti di depan dekat dengan pohon besar. Dia menatap ke kanan dan melihat toko buku di depan sana yang tampak besar dengan beberapa alat lukis juga yang ada. Sebelum Jace bicara, Nita sudah menyerobot suaranya.
"Sampai jumpa di rumah." Dan perempuan itu keluar dari mobil lalu melenggang santai masuk ke dalam mobil. Nita mengedarkan pandangannya dan segera bergerak ke bagian toko yang menjual peralatan melukis.
Nita menyapa pramuniaganya yang menjaga. Bertanya-tanya tentang beberapa alat lukis dan kertas yang bisa dia gunakan. Semua diberitahukan dan mudah baginya mencari. Dia masuk ke lorong-lorong dan segera tersenyum cerah menemukan apa yang dicarinya. Sudah lama dia tidak melakukan ini. Dulu yang dia pikirkan hanya uang sampai dia lupa ada kebahagiaan tersendiri saat dia dapat menemukan kuas dan cat yang membangktkan hasratnya pada kehidupan.
Nita sedang memilih beberapa kertas saat dia mendengar suara seseorang dari balik bahunya.
"Kau juga bisa melukis?" tanya Jace yang ternyata ikut turun dan sejak tadi mengikutinya dalam dalam.
Nita menengok dengan pandangan aneh. Juga? Kata itu agak membuat bingung. Tapi saat mendengar dengan seksama dan ingat percakapan mereka beberapa waktu lalu, kata juga itu mulai terdengar masuk akal. Jace berpikir Josie bisa meluksinya. Mungkin pria itu mengungkit masalah itu. "Ya. Josie tidak mengatakannya."
"Tidak. Apa kau merasa tersaingi?"
Mendengar Nita segera menatap dengan tidak senang.
Jace yang ditatap penuh ketidaksenangan segera mengangkat tangan tanda tidak memiliki maksud buruk. "Aku hanya mendengar dari Josie bahwa dia tidak lagi mau melukis karena kau tidak senang melihatnya melukis. Kau juga merusak semua lukisannya. Jadilah dia tidak lagi menyentuh kuas dan cat. Aku tidak pernah melihatnya melukis jadinya. Padahal aku begitu ingin melihatnya."
Nita yang mendengarnya merasa kakaknya penuh omong kosong. Tapi Josie dan omong kosong memang berjalan dalam sisi yang sama. Nita tidak perlu terkejut, yang lebih buruk saja pernah dilakukan kakaknya itu. Apalagi hanya menipu suaminya memakai Nita yang bahkan sudah tidak ada dalam hidupnya.
Nita juga tidak perlu menjelaskan. Semuanya tidak perlu diperdebatkan. Apalagi kalau sampai Jace tidak percaya padanya. Josie yang akan memberikan penjelasan juga sudah tidak ada di dunia ini. Jadi tidak ada yang bisa dia mintai penjelasan. Dia tidak mau Jace berpikir kalau Nita memfitnah kakaknya
"Semuanya hanya salah paham. Aku dan Josie memiliki banyak kesalahpahaman."
"Kau yakin?"
"Kau bisa tanya pada Josie kalau memang kau tidak percaya. Oh, jika kau memang bisa bicara dengan hantu."
"Kau—"
Nita meninggalkan Jace dan segera ke kasir, membayar semua barang yang dibelinya. Saat Nita sudah akan mengeluarkan uang, kasir malah menahannya. Itu membuat Nita segera mengerut dengan tidak mengerti. Dia menatap Jace. "Kau yang membayar?"
"Tidak. Aku bersamamu sejak tadi. Bagaimana caraku membayar."
"Bos kami mengatakan kalau anda tidak perlu membayar lagi."
"Bosmu? Siapa bosmu?"
Suara kekehan kecil datang dari arah kanan Nita. Dia memandangg dan bertemu dengan wanita berambut sebahu yang agak meliuk di bagian bawahnya. Wanita itu paruh baya dengan kerutan yang sudah ada di lehernya. Tapi matanya yang jernih dan cemerlang membuat Nita masih mengenalinya.
"Nita Hogan, aku mengenalmu bahkan dari jauh."
Nita terdiam dan segera tertawa dengan keras. "Mrs. Spell. Kaukah itu?"
Wanita itu merentangkan tangan. "Ya. Aku. Bagaimana kabarmu?"
Nita segera menjabat tangan wanita itu dan mereka saling mencium pipi. "Oh, kabarku baik dan aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau sendiri, bagaimana kabarmu?"
"Baik sekali. Di umur yang tidak lagi muda, aku masih tahu kalau akan ada hal besar yang terjadi. Dan ternyata hal besar itu adalah muridku tersayang akan datang berkunjung ke tempat kecil ini."
"Kau selalu merendah, Mrs. Spell. Tempatmu bagus dan lengkap. Aku menemukan semua yang aku butuhkan."
Wanita itu menatap barang Nita. "Kau melukis lagi?"
"Ya. Baru akan mulai," timpal Nita pahit.
"Aku mendengar soal kau berhenti melukis setelah ibu tirimu dan Josie membakar semua lukisan yang kau miliki. Apa tidak masalah memulainya saat kau bersama dengan mereka?"
Nita salah tingkah sendiri mendengarnya. Dia melirik pada Jace yang berdiri di belakangnya. Jelas mendengar perkatakaan gurunya saat sekolah dulu itu. "Segalanya baik-baik saja. Dan aku kenalkan padamu, suamiku." Nita coba lari dari pembahasan yang membuat tidak nyaman. Apalagi dengan Jace yang berada di di sini bersama mereka.
Jace sendiri menjabat wanita itu kuat.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Turun Ranjang Demi Anak (SAB)
RomanceNita Hogan terpaksa kembali ke kota kelahirannya atas permintaan sang kakak yang sedang sakit keras. Tidak disangka kakaknya malah menginginkan Nita menikahi suaminya. Demi bisa melindungi anak semata wayangnya dari ibu tiri yang mungkin tidak akan...