𖦹 it's OK to cry

1.7K 99 12
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

"Sekarang tinggal kita berdua," ucap seorang gadis yang tengah merangkul adik perempuannya yang lebih muda dan sedang menangis.

"Masih ada Ayah, Bunda, dan Ibu," sahut gadis yang lebih muda itu sambil terisak.

"Salah kalau kita berharap pada mereka, dek. Orang dewasa itu egois," ucap gadis yang lebih tua dengan nada pahit.

Gita Arunika Ranjaya, nama gadis yang lebih tua, berusaha kuat untuk tidak menangis seperti adiknya, Naura Oniella Ranjaya, di hari nenek mereka meninggal. Nenek yang selama ini merawat mereka setelah ditelantarkan oleh orang tua mereka.

Gita dan Oniel, begitu panggilan akrab mereka, memiliki ayah yang sama, tetapi ibu dan bunda yang berbeda. Ibu adalah wanita yang melahirkan Gita, sementara Bunda adalah wanita yang melahirkan Oniel. Ironisnya, mereka tidak pernah menjenguk Gita dan Oniel sejak masing-masing memiliki keluarga baru. Ayah mereka sekarang bersama istri ketiganya, sedangkan kabar tentang ibu dan bunda mereka sudah lama tidak terdengar. Meski ayah masih rutin mengirimkan uang bulanan yang sangat berlimpah, ada perasaan iri yang menggelayut di hati Gita melihat teman-temannya yang memiliki keluarga utuh, meski kondisi ekonomi mereka tidak sebaik Gita dan Oniel.

Tidak semuanya bisa dibeli dengan uang, pikir Gita sambil terus mengusap-usap pundak Oniel yang masih terisak. Bagi Gita, kehangatan dan kebersamaan keluarga adalah sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang hilang dari hidup mereka sejak orang tua mereka memilih jalan masing-masing, dan sesuatu yang tidak akan pernah didapatkan Gita. Dia merasa harus menjadi kuat untuk adiknya, menjadi pelindung dan sandaran di tengah ketidakpastian hidup yang mereka hadapi. Gita tahu, mulai sekarang, mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan satu sama lain.

"Yuk dek, kita pulang aja, udah hampir gelap, ikhlasin nenek biar nenek tenang di sana," tutur Gita pada sang adik, suaranya lembut namun tegas.

Usia mereka terpaut begitu dekat, tetapi Gita adalah Gita, lebih dewasa dari usianya. Gita masih tujuh belas, sementara Oniel enam belas, hanya berbeda satu tahun, tetapi perbedaan sikap dan pemikiran mereka terasa sangat jauh. Gita selalu memikirkan masa depan, berusaha menyusun rencana agar mereka bisa bertahan di tengah ketidakpastian. Sedangkan Oniel, meskipun pintar, lebih sering terbawa oleh perasaannya dan cenderung bergantung pada Gita.

Oniel menarik napas panjang dan mengangguk lesu, mengikuti Gita menuju mobil. Supir pribadi mereka telah menunggu di dalam mobil sejak tadi, sesuai perintah Gita. Supir itu, Pak Arman, sudah bekerja untuk mereka selama bertahun-tahun.

Rumah besar dan megah itu hanya dihuni oleh Gita dan Oniel. Tidak ada asisten rumah tangga di sana, karena Gita lebih memilih untuk hidup tanpa orang luar yang terlalu mencampuri urusan mereka. Setiap hari, mereka memesan makanan melalui aplikasi online jika terlalu malas untuk keluar dari rumah. Tanpa nenek, rasanya semakin hampa. Nenek adalah satu-satunya orang dewasa yang memberikan mereka kasih sayang tanpa pamrih, satu-satunya yang selalu ada untuk mereka.

Mereka berjalan masuk ke dalam rumah yang kini terasa lebih dingin dan sunyi. Di ruang tamu, foto-foto keluarga yang terpajang di dinding menjadi saksi bisu perjalanan hidup mereka. Gita melihat sekilas foto nenek yang tersenyum lembut dalam bingkai kayu di sudut ruangan. Ada rasa sakit yang menusuk di hatinya, namun dia menahannya. Tidak ada waktu untuk larut dalam kesedihan, pikirnya.

Gita menggenggam tangan Oniel dan membawanya ke ruang tengah, di mana mereka duduk di sofa yang besar. "Dek, mulai sekarang kita harus lebih kuat dan harus bisa mandiri. Nenek pasti ingin kita bahagia," ucap Gita, mencoba memberikan semangat pada adiknya.

Oniel hanya mengangguk, masih terisak pelan. Dia merasa dunia mereka runtuh. "Kak, aku takut. Aku nggak tahu harus gimana tanpa nenek," ucapnya lirih.

"Kita akan baik-baik saja, Oniel. Kita punya satu sama lain. Dan kita harus percaya kalau nenek selalu mengawasi kita dari jauh," jawab Gita, sambil memeluk adiknya dengan erat.

"Besok kita mulai hari baru, dek. Kita bisa atur ulang rutinitas kita, kita buat nenek bangga," bisik Gita setelah hening beberapa saat, mencoba menguatkan diri dan adiknya.

"Iya, Kak," balas Oniel, suaranya hampir menyerupai gumaman.

"Yaudah, kamu mandi sekarang, terus bobo aja. Kalau besok belum bisa sekolah juga nggak apa-apa," tutur Gita dengan lembut.

Oniel mengangguk pelan, dan dengan begitu, mereka berjalan bersama ke kamar masing-masing. Keduanya berniat untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan secara emosional.

Di kamarnya yang telah terkunci rapat, pertahanan Gita seketika runtuh. Semua perasaan yang berkecamuk di benaknya sebelumnya akhirnya meluap. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mengalir deras di pipinya. Ia merosot ke lantai, bersandar pada pintu, memeluk lututnya erat-erat.

Gita merasa terhimpit oleh beban tanggung jawab yang tiba-tiba harus ia pikul. Bagaimana ia bisa menjadi sosok yang Oniel andalkan? Bagaimana jika ia gagal melindungi dan mendukung adiknya? Ketakutan akan kegagalan itu menggerogoti pikirannya. Oniel adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sekarang, dan ia tidak ingin mengecewakan adiknya. Namun, di saat yang sama, Gita merasa sangat sendirian. Jika Oniel bersandar pada dirinya, lalu dengan siapa Gita akan bersandar? Siapa yang akan menguatkan dirinya di saat ia merasa lemah?

Kata Gita, mereka memiliki satu sama lain. Itu memang benar, tetapi rasanya ia tidak bisa berkeluh kesah kepada adiknya di saat ia merasa lemah. Bagaimana ia bisa menjadi sandaran Oniel jika dia sendiri rapuh? Kenapa nenek harus meninggalkannya juga, seperti orang tua mereka?

Gita berdiri di kamar yang sunyi, pandangannya terpaku pada bayangan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Di sana, ia melihat seorang gadis yang tampak lebih tua dari usianya, dengan mata yang sembab dan sorot yang penuh beban. Ia merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang, di mana satu langkah saja bisa membuatnya terjatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung.

"Nenek, kenapa harus pergi juga? Kenapa harus sekarang?" bisik Gita lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Air matanya kembali mengalir, membasahi pipinya yang pucat.

Gita berjalan perlahan menuju tempat tidur, tubuhnya terasa berat dan lemah. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk bantal. Di luar, hujan mulai turun, suara hujan biasanya menenangkan, malam itu hanya menambah kesedihannya.

•••

Alo, bertemu dengan cerita baru, di awal ini kayak cerita bahagia ga sih?

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang