𖦹 everything is everything

214 39 13
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

Eli menggigit bibirnya, mencoba meredam gejolak emosi yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Ia merasa semakin tidak nyaman, semakin gelisah dengan situasi yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. "Gita... Aku nggak pernah nyangka kamu bisa ngerasain hal kayak gini. Maksudku, aku pikir... aku pikir hal-hal kayak gini cuma bercandaan."

Gita menatap Eli dengan mata yang masih basah oleh air mata. Ia merasa kata-kata Eli seperti belati yang terus menusuk ke dalam hatinya. "Aku juga nggak nyangka, Li. Tapi ini bukan bercandaan. Ini perasaan aku, dan aku nggak bisa mengubahnya."

Eli menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Git, selama ini aku selalu mikir kalau orang-orang yang ngomongin hal-hal kayak gini cuma bercanda. Aku nggak pernah nyangka bakal ketemu langsung sama orang yang... ya, kamu tahu, kayak gini."

Gita tetap diam, membiarkan Eli meluapkan pikirannya, meskipun setiap kata yang keluar dari mulut Eli semakin membuat hatinya hancur.

"Kamu tahu, adikku, Muthe, sama temen-temennya yang sering mantengin kamu?" Eli melanjutkan dengan nada suara yang semakin emosional. "Aku selalu bilang ke mereka buat nggak usah terlalu serius. Kayak hal-hal gini itu loh yang selalu buat aku mikir, ah naksir-naksir segender itu becandaan."

Gita menunduk, air matanya semakin deras mengalir. Ia tahu Eli sedang berusaha keras untuk mengerti, tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya justru semakin menyakitkan.

Eli menggelengkan kepalanya, masih berusaha mencerna kenyataan yang baru saja ia terima. "Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi, Git. Aku cuma... Aku nggak bisa nerima ini. Aku nggak bisa ngelihat kamu dengan cara yang sama lagi."

Gita merasa seperti tertusuk ribuan jarum. Perasaan yang selama ini ia pendam, perasaan yang begitu sulit ia akui, kini terasa seperti beban yang semakin memberatkannya. "Li, aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku nggak bisa berubah. Ini siapa aku, dan aku cuma pengen kamu tahu."

Eli menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin meledak-ledak. "Git, aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak bisa nerima ini. Aku nggak bisa terus-terusan berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Kamu harus lupain perasaan ini. Kita nggak bisa kayak gini."

Gita menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangisnya. "Aku ngerti, Li. Aku ngerti kalau ini nggak mudah buat kamu. Tapi tolong, jangan lihat aku dengan cara yang berbeda. Aku masih Gita yang sama."

Eli menatap Gita dengan campuran perasaan marah, bingung, dan sedih. Ia tahu bahwa situasi ini tidak akan pernah sama lagi. Hubungan mereka tidak akan pernah kembali seperti sebelumnya. "Aku nggak tahu, Git. Aku nggak tahu gimana kita bisa balik lagi kayak dulu. Kamu... kamu harus lupain ini. Kalau kamu masih peduli sama persahabatan kita, tolong lupain."

Gita menggeleng dengan pelan, air matanya terus mengalir tanpa henti. "Aku nggak bisa, Li. Aku nggak bisa pura-pura kalau ini nggak pernah terjadi."

Eli menghela napas berat, merasa semakin frustasi. "Git, kamu harus. Kamu nggak punya pilihan lain. Kamu nggak bisa terus-terusan ngerasa kayak gini. Ini nggak benar, Gita."

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang