𖦹 now that we don't talk

218 40 0
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

Gita berjalan dengan langkah berat menuju kamar di lantai dua setelah pulang dari bimbel. Suasana rumah terasa sepi, seolah seluruh penghuni telah tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Pak Arman, yang biasanya menyambutnya di depan pintu, kini tengah berada di kamar staf, menunggu jika sewaktu-waktu Oniel membutuhkan antar jemput. Gita sengaja membawa mobil sendiri, tidak ingin merepotkan siapa pun dan lebih memilih menikmati kesendirian yang, meskipun sunyi, memberinya ruang untuk berpikir.

Saat ia melewati kamar Oniel yang pintunya terbuka sedikit, Gita hampir saja melangkah begitu saja, hingga matanya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti mendadak. Di dalam kamar itu, terlihat Oniel dan Sisca—teman sekelasnya di sekolah—tengah duduk berdekatan di tempat tidur. Kedekatan mereka tidak hanya sekadar duduk bersama; ada sentuhan lembut dan bisikan mesra yang membuat Gita merasa seperti menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

Oniel dan Sisca tampaknya begitu tenggelam dalam momen mereka sendiri hingga tidak menyadari keberadaan Gita di luar pintu. Gita merasakan gelombang emosi yang campur aduk—terkejut, canggung, dan sedikit jijik. Pikiran bahwa adiknya, yang selama ini ia jaga dan lindungi, sekarang sudah mulai menjalin hubungan yang begitu intim dengan seseorang, menimbulkan rasa khawatir yang tak terelakkan.

Gita ingin masuk dan menegur mereka, memberi peringatan keras untuk setidaknya mengunci pintu jika mereka berdua berencana untuk... berbuat lebih jauh. Namun, saat tangannya hendak mendorong pintu lebih lebar, Gita mendadak ragu. Ia menahan napas, mencoba menenangkan diri, dan berpikir lebih bijak. Mungkin tidak adil baginya untuk langsung menyerang mereka dengan amarah atau rasa khawatir yang berlebihan. Bagaimanapun, Oniel sedang dalam masa remaja, masa-masa yang penuh dengan eksperimen dan pencarian jati diri. Dan Sisca... meskipun Gita merasa tidak nyaman melihat kedekatan mereka, ia tahu bahwa Sisca adalah gadis yang baik.

Akhirnya, Gita memilih untuk tidak menginterupsi. Ia perlahan menarik diri dari pintu kamar Oniel, meskipun perasaannya masih berkecamuk. Diam-diam, ia berjalan menuju kamarnya sendiri dan dengan cepat mengunci pintu setelah masuk. Ia bersandar di pintu itu, mencoba menenangkan diri dari adegan yang baru saja ia saksikan.

Sambil menarik napas panjang, Gita meraih ponselnya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggulirkan layar.

Gita duduk di tepi tempat tidurnya, ponsel di tangan, dengan pikiran yang masih bercampur aduk. Ketika ia membuka layar ponselnya, seketika ia disambut dengan kesunyian yang begitu nyata. Tidak ada notifikasi pesan baru, tidak ada teks panjang yang biasa memenuhi layarnya. Dulu, hampir setiap saat, ponselnya akan bergetar dengan pesan dari Chiko—teks panjang yang penuh dengan kata-kata afirmasi, perhatian, dan dorongan semangat. Chiko adalah tipe orang yang tidak pernah kehabisan kata-kata manis, selalu ada sesuatu yang bisa ia katakan untuk membuat Gita merasa lebih baik.

Namun, sekarang ponselnya terasa begitu sunyi. Gita mulai menggulir layar, membuka aplikasi pesan, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan perasaannya yang sedang kacau. Ia melihat deretan percakapan lama dengan Chiko, masih tersimpan rapi di dalam obrolan. Pesan-pesan itu dulu terasa biasa, mungkin sedikit berlebihan, tapi sekarang, dengan ketidakhadiran Chiko, semuanya terasa begitu berbeda. Setiap pesan terasa seperti sebuah kenangan yang menonjol, mengingatkannya pada perhatian yang telah ia tolak.

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang