𖦹 you lie all the time

858 72 11
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••


"Niel, sekolah nggak?" tanya Gita lembut sambil membuka kamar Oniel dengan kunci cadangan. Ia melihat adiknya masih tertidur nyenyak di ranjangnya, dengan mata yang tampak sembab. Gita dapat menebak bahwa adiknya pasti tertidur setelah menangis semalaman.

Oniel, yang tidurnya terganggu, perlahan membuka matanya. Cahaya pagi yang menerobos melalui tirai jendela membuatnya menyesuaikan diri, mengerjapkan mata untuk menghilangkan kebingungannya. Suasana di kamar masih terasa dingin dan sunyi, menyisakan aura kesedihan dari malam sebelumnya.

"Ah, aku enggak deh, Kak," kata Oniel dengan suara serak bangun tidur, bibirnya sedikit kering dan wajahnya terlihat letih. Dia menguap lebar, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang tersisa.

"Yaudah, saldo masih aman kan? Buat beli makanan, soalnya kakak mau sekolah. Nggak bisa banyak izin kalau udah kelas dua belas gini," jelas Gita sambil melirik ke arah meja di samping ranjang, di mana sebuah dompet dan ponsel tergeletak. Gita mencoba untuk memastikan segala sesuatu siap untuk hari ini, meskipun pikirannya masih terbagi antara tanggung jawab di sekolah dan perawatan adiknya di rumah.

Oniel mengangguk pelan, meraih ponselnya dan memeriksa saldo rekening yang terhubung dengan aplikasi perbankan di layar. "Masih aman kok, Kak. Kak Gita tenang aja," jawab Oniel dengan nada yang masih setengah mengantuk, tetapi menunjukkan bahwa dia mengerti dengan kecemasan kakaknya.

Gita tersenyum lembut melihat adiknya yang sudah berusaha melakukan hal yang benar meskipun dalam keadaan emosional yang tidak stabil. "Istirahat yang cukup, adik... Jangan lupa makan ya, biar nggak sakit," kata Gita sambil mengusap pucuk kepala Oniel dengan penuh kasih sayang.

Ia berbalik dan mulai melangkah keluar dari kamar Oniel, menutup pintu secara perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik. Setiap langkahnya terasa penuh perhatian dan lembut, seperti menghindari untuk menambah kesedihan adiknya yang masih tertinggal di malam sebelumnya.

•••

Sebelum berangkat, Gita kembali ke kamar Oniel untuk memberikan sepatah kata terakhir. Ia memastikan adiknya masih nyaman di tempat tidurnya dan tidak merasa terabaikan. "Niel, kalau kamu butuh apa-apa, jangan ragu untuk bilang. Kakak bakal pulang cepat," tambah Gita dengan nada lembut, mencoba memberikan rasa aman pada Oniel meskipun dirinya sendiri juga merasakan tekanan besar.

Gita melangkah keluar rumah, menutup pintu dengan lembut dan melangkah menuju mobil yang sudah menunggu di depan. Selama perjalanan menuju sekolah, pikirannya terus mengembara, fokus pada segala hal yang harus ia atasi untuk Oniel dan tanggung jawab sehari-harinya. Suara mesin mobil dan deru angin luar seolah-olah menjadi latar belakang yang samar, sementara beban emosional di hatinya mengaburkan kesadaran akan waktu dan tempat.

Mobil berhenti di depan gerbang sekolah, dan Pak Arman, supir mereka, melihat Gita melalui cermin spion. "Nak Gita, udah sampai sekolah," katanya dengan nada ramah, seperti biasa. Namun, Gita yang masih tenggelam dalam pikirannya tidak langsung merespons.

"Oh, makasih Pak," kata Gita akhirnya, setelah sedikit terkejut. Ia meraih ranselnya, membuka pintu mobil, dan melangkah keluar. Tanpa berpikir untuk mampir ke kantin untuk sarapan, ia melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju gedung sekolah.

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang