𖦹 all too well

206 25 16
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

Kerenggangan antara Oniel dan Sisca sudah berlangsung cukup lama. Kedua belah pihak masih terjebak dalam gengsi yang kuat, menolak untuk mengakui kesalahan atau mengambil langkah pertama untuk memperbaiki keadaan. Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah, tapi lebih kepada kebanggaan masing-masing yang membuat mereka enggan untuk mengalah.

Sementara itu, Indah berada di tengah-tengah, seolah-olah perasaannya sedang digantung oleh Oniel. Hubungan tanpa status ini semakin membuat situasi menjadi rumit, terutama karena Oniel tampaknya memberi harapan tanpa ada kepastian yang jelas.

Suatu sore, ketika suasana di rumah Gita dan Oniel sedang tenang, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Gita yang sedang duduk di ruang tamu membuka pintu dan mendapati Sisca berdiri di sana. Wajah Sisca tampak canggung, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan namun terhalang oleh rasa ragu.

"Git, gue mau ngambil barang, ketinggalan waktu itu," kata Sisca, suaranya terdengar agak lemah, menunjukkan keraguannya. Gita, yang memahami situasi ini, hanya mengangguk dan mengajak Sisca masuk ke dalam rumah.

Mereka berdua berjalan menuju kamar Oniel, dan Sisca terlihat semakin ragu-ragu ketika mendekati pintu kamar itu. Di depan pintu kamar, Sisca tiba-tiba berhenti, menatap pintu tersebut dengan pandangan kosong.

"Sebenarnya nggak penting-penting amat, Git," Sisca akhirnya berkata, suaranya dipenuhi keraguan. Barang yang ingin ia ambil hanyalah blazer abu-abu yang ia tinggalkan di sana di saat terakhir kali ia menginap, sebelum besoknya terjadi drama cemburu itu. Namun, rasa emosional yang muncul membuatnya ragu-ragu untuk masuk ke kamar yang penuh dengan kenangan itu.

Gita, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengamati dalam diam. Ia bisa melihat bagaimana Sisca menatap sendu. Sisca akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar Oniel. Begitu pintu terbuka, Sisca disambut oleh pemandangan yang tak asing baginya. Kamar Oniel masih sama seperti terakhir kali ia lihat. Meski mungkin ada sedikit perubahan, namun esensinya masih sama-kamar yang penuh dengan jejak Oniel.

Saat Sisca melangkah masuk, aroma khas yang familiar menyambutnya, memicu kenangan yang telah lama ia coba pendam. Matanya tertuju pada sudut ruangan, tempat di mana mereka sering berbagi cerita dan tertawa bersama. Ia bisa mengingat dengan jelas saat-saat itu, ketika Oniel akan melemparkan lelucon-lelucon yang tak terduga, membuat Sisca tertawa hingga air mata keluar. Dia juga mengingat momen-momen sederhana namun berharga ketika mereka pergi bersama, duduk di dalam mobil, dengan Sisca yang mengendarai dan Oniel di kursi penumpang. Mereka akan bernyanyi bersama, mengikuti irama lagu yang diputar di radio, merasa seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Namun, semua itu sekarang terasa seperti kenangan yang sulit terulang kembali. Sisca menatap sekeliling kamar, melihat barang-barang Oniel yang tertata rapi, dan merasakan kehangatan masa lalu yang perlahan-lahan meresap ke dalam hatinya. Saat itu, Sisca menyadari bahwa perasaannya terhadap Oniel masih sangat kuat, meskipun hubungan mereka kini telah sangat hancur.

Blazer abu-abu itu tergantung di belakang pintu, sebuah benda yang seharusnya mudah diambil dan pergi. Dengan tangan yang basah oleh keringat, Sisca meraih blazer tersebut dan memegangnya erat-erat, seolah-olah blazer itu bisa membawa kembali semua kenangan indah yang telah mereka ciptakan bersama.

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang