𖦹 as it was

183 33 9
                                    

•••

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

✷        ·
  ˚ * .
     *   * ⋆   .
·    ⋆     ˚ ˚    ✦
  ⋆ ·   *
     ⋆ ✧    ·   ✧ ✵
  · ✵

。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。

•••

Sudah memasuki semester genap tahun terakhir di sekolah, Gita kembali ke rutinitasnya. Suasana di kelas terasa familiar dan nyaman meskipun dengan sedikit ketegangan yang masih mengganggu pikirannya. Dia duduk di tempatnya yang biasa, di samping Eli—posisi yang selalu membuatnya merasa nyaman di masa lalu.

Saat pelajaran dimulai, Gita dan Eli tidak saling menyapa. Keduanya tampaknya menghindari interaksi langsung. Gita merasa beban emosional yang berat sejak Eli mengungkapkan pandangannya tentang perasaannya, menganggap Gita menyimpang dan sebagai bentuk penyakit, serta menuduhnya karena trauma dan kurang ibadah. Semua itu membuat Gita merasa terasing dan terluka, sulit untuk melupakan atau memaafkan.

Gita memandangi meja belajarnya dengan tatapan kosong, sesekali melirik ke arah Eli. Dia melihat Eli sibuk dengan buku catatannya, tampak fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung. Gita merasakan kekosongan di dalam dirinya. Perasaan sakit hati dan kekecewaan masih membekas, membuatnya sulit untuk merasa benar-benar nyaman di kelas, meskipun dia berusaha untuk tetap tampil tenang.

Ketika bel tanda istirahat berbunyi, suasana di kelas mulai ramai dengan murid-murid yang keluar dari ruang kelas, berbincang-bincang atau menuju kantin. Gita tidak bergeming dari tempat duduknya. Dia meresapi kebisingan di sekelilingnya dengan penuh kekosongan, mencoba untuk menenangkan pikirannya.

Eli, yang duduk di sampingnya, terlihat ragu-ragu. Mungkin dia merasa ketegangan yang sama, tetapi tidak tahu bagaimana cara membahasnya. Sesekali, Eli mencuri pandang ke arah Gita, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun kata-katanya tertahan. Gita merasakan keberadaan Eli, tetapi tidak meresponsnya.

Akhirnya, Eli memutuskan untuk berbicara. Suaranya terdengar agak ragu dan hati-hati, mencoba untuk mengatasi ketegangan di antara mereka. "Git, nyari makan nggak? Atau belajar di perpustakaan, mungkin?" tanyanya, melihat Gita yang tampak enggan bergerak dari tempat duduknya. Eli merasa ada sesuatu yang tidak biasa, karena biasanya, saat jam istirahat, Gita akan langsung keluar dari kelas untuk menghindari kebisingan dan mencari tempat tenang untuk belajar. Dia tahu betapa pentingnya waktu istirahat bagi Gita, yang selalu sibuk mengejar target akademiknya.

Gita mengangkat kepalanya sedikit, menatap Eli dengan mata yang masih penuh dengan kekeliruan dan rasa sakit hati. Mendengar tawaran Eli, dia merasa sejenak terkejut oleh perhatian tersebut. Namun, dia juga merasa terbebani dengan kenyataan bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menjawab atau bertindak dalam situasi ini.

"Uh, mungkin," jawab Gita pelan, suaranya terdengar lelah dan kurang bersemangat. "Aku belum tahu mau kemana. Aku cuma... nggak tahu mau ngapain." Dia berusaha untuk tidak terlihat terlalu tertekan, tetapi tatapan matanya dan nada suaranya mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.

Eli mengangguk perlahan, merasa tidak nyaman dengan tanggapan Gita. Dia berusaha mencari topik lain atau sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian mereka dari ketegangan yang ada. "Kalau mau, kita bisa ke kantin bareng. Aku bisa temenin," tawar Eli, berusaha menunjukkan bahwa dia masih peduli dan ingin membantu, meskipun sebenarnya ada jarak di antara mereka.

UNRAVELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang