•••
。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。
•••
✷ ·
˚ * .
* * ⋆ .
· ⋆ ˚ ˚ ✦
⋆ · *
⋆ ✧ · ✧ ✵
· ✵。☆✼★━━━━━━━━━━━━★✼☆。
•••
Gita pulang ke rumah dengan langkah yang berat, hatinya terasa hampa dan pikirannya penuh dengan segala emosi yang bercampur aduk. Sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamarnya tanpa menyapa siapapun. Namun, setelah beberapa saat duduk termenung di tepi tempat tidur, ia merasa dorongan kuat untuk mencari seseorang yang bisa mengerti dan memberinya sedikit ketenangan. Orang itu adalah Oniel, adik perempuannya yang selalu menjadi tempatnya berbagi perasaan.
Dengan mata yang masih sembab dan kepala yang terasa berat, Gita berjalan menuju kamar Oniel. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk. Oniel yang sedang duduk di depan laptop, menoleh dengan wajah khawatir saat melihat kondisi kakaknya.
"Kak Gita? Kamu kenapa?" tanya Oniel, segera bangkit dan menghampiri Gita yang langsung duduk di tepi tempat tidur Oniel. Melihat kakaknya dalam keadaan seperti ini, Oniel tahu bahwa sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.
Gita hanya bisa menggelengkan kepala, air matanya mulai mengalir lagi. Ia merasa begitu hancur, tidak tahu harus mulai dari mana untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi. "Niel... Aku nggak tahu harus gimana lagi," suaranya terdengar lemah dan penuh dengan kepedihan.
Oniel merangkul Gita, menariknya ke dalam pelukan yang hangat dan penuh kasih sayang. "Kak, cerita aja sama aku. Apa yang terjadi, Kak Gita... Nangis?"
Gita terisak dalam pelukan Oniel, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan semuanya. Setelah beberapa saat, ia mulai berbicara, suaranya parau dan penuh dengan kesedihan. "Aku... Aku bilang ke Eli kalau aku suka sama dia. Tapi... dia malah bilang kalau aku sakit, kalau aku harus nyembuhin diri aku."
Oniel merasakan tubuh Gita bergetar dalam pelukannya, dan ia semakin erat memeluk kakaknya, mencoba memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkan Gita saat ini. "Kak, jangan dengerin kata-kata dia. Kamu nggak salah apa-apa. Perasaan itu nggak bisa dipaksakan, dan kamu nggak perlu berubah cuma karena orang lain nggak bisa nerima kamu."
Gita mengangguk dalam pelukan Oniel, meskipun air matanya masih mengalir deras. Kata-kata Oniel memang menenangkan, tapi rasa sakit yang ia rasakan masih begitu nyata. "Tapi dia... dia bilang aku harus nyari cara biar bisa 'sembuh', Niel. Dia bilang aku kurang ibadah, trauma sama laki-laki gara-gara ayah."
Mendengar hal itu, Oniel merasa marah. Bagaimana mungkin Eli, yang selama ini dianggap sebagai sahabat baik kakaknya, bisa mengatakan hal-hal yang begitu kejam dan menyakitkan? "Kak, Eli nggak ngerti apa-apa. Jangan dengerin dia. Kakak nggak perlu berubah hanya untuk memenuhi standar orang lain. Kamu berhak untuk dicintai dan diterima apa adanya, tanpa perlu merasa bersalah."
Gita terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Oniel. Ia tahu bahwa adiknya benar, tetapi rasa sakit itu masih terlalu besar untuk diabaikan. "Aku cuma... aku cuma pengen dia nerima ketertarikan aku, Niel. Aku nggak pengen kehilangan dia."
Oniel mengusap punggung Gita dengan lembut, mencoba menenangkan kakaknya. "Kak, kadang kita nggak bisa memaksa orang lain untuk menerima kita apa adanya. Tapi yang penting, kita harus tetap mencintai diri sendiri. Kalau Eli nggak bisa terima kamu, mungkin dia bukan orang yang tepat untuk ada di hidup kamu."
Gita menghela napas panjang, meskipun dadanya masih terasa berat. "Tapi... aku nggak tahu harus gimana sekarang. Aku ngerasa kehilangan banget, Niel."
Oniel tersenyum lembut, meskipun ia juga merasa sedih melihat kakaknya dalam keadaan seperti ini. "Kak, kakak selalu punya aku. Aku selalu ada buat kakak, apapun yang terjadi. Kakak nggak sendiri."
Gita merasa sedikit lega mendengar kata-kata Oniel. Setidaknya, ia masih punya seseorang yang peduli padanya, yang mau menerima dan mencintainya apa adanya. "Makasih, Niel."
Oniel menggeleng pelan, tetap tersenyum. "Kakak adalah kakakku yang paling kuat. Oniel tahu kakak bisa melalui ini."
Gita melepaskan pelukannya perlahan dan menatap wajah Oniel, yang masih tersenyum lembut meskipun di matanya tersirat kekhawatiran. Gita merasakan kehangatan dari adiknya yang selalu ada untuknya, bahkan di saat-saat paling sulit seperti ini. Ia mengusap sisa air mata di pipinya, mencoba menenangkan diri lebih jauh.
"Niel," Gita memulai dengan suara yang sedikit lebih tenang, "Aku nggak ngerti gimana kamu bisa tetap tenang dan kuat kayak gini, padahal... kamu sendiri lagi ada masalah juga sama Sisca, kan? Aku tahu kamu lagi dalam masa break, tapi kamu masih bisa nyemangatin aku. Kamu hebat banget."
Oniel tersenyum tipis, menundukkan kepala sejenak sebelum kembali menatap Gita. "Kak, nggak usah dipikirin masalah aku sama Sisca. Kadang kita semua punya masalah masing-masing, tapi itu nggak berarti aku nggak bisa ada buat kakak. Justru, dengan bantuin kakak, aku jadi merasa sedikit lebih kuat juga."
Gita merasa terharu dengan jawaban Oniel. Ia tahu bahwa adiknya sedang menghadapi situasi yang sulit dengan Sisca, tetapi tetap memilih untuk berada di sisinya, memberinya dukungan dan kekuatan yang sangat ia butuhkan. "Tapi tetap aja, Niel... Kamu harusnya fokus sama masalah kamu juga. Aku nggak mau kamu merasa terbebani sama masalah aku."
Oniel menggeleng pelan, kembali tersenyum. "Kak, kita ini keluarga. Kalau kakak sedih, aku juga ikut sedih. Dan kalau aku bisa bantu kakak merasa lebih baik, itu udah cukup buat aku. Sisca... Aku bisa urus nanti. Yang penting sekarang, kakak jangan ngerasa sendirian."
Gita tertawa kecil, merasa sedikit lebih lega setelah mendengar kata-kata Oniel. Ia memandang adiknya dengan penuh kasih sayang, menyadari betapa dewasa dan pengertian Oniel sekarang. Gita tersenyum hangat, menepuk kepala Oniel dengan lembut.
"Oniel kecilku udah dewasa, ya. Kakak bangga banget sama kamu," kata Gita dengan nada lembut, namun penuh kebanggaan.
Oniel mendengus, agak sewot, tapi senyum tetap tersungging di wajahnya. "Dewasa apaan, Kak? Kita kan cuma beda satu tahun! Nggak jauh beda, kok. Aku juga udah gede dari dulu, cuma kakak aja yang nggak nyadar."
Gita tak bisa menahan tawanya mendengar protes Oniel yang begitu serius. Tawa itu mengalir deras, menggema di kamar, membuat suasana yang tadinya muram menjadi lebih ringan dan hangat. Oniel pura-pura cemberut, tapi akhirnya ikut tertawa juga melihat Gita begitu bahagia.
"Kamu bener juga sih, Niel. Kita emang nggak beda jauh, tapi aku tetap lihat kamu sebagai adik kecil yang dulu selalu minta dibikinin susu tiap malam," goda Gita sambil menatap Oniel dengan pandangan penuh kenangan.
Oniel menggeleng sambil tertawa kecil, menutupi rasa malunya. "Iya, iya... Tapi sekarang kan aku udah bisa bikin susu sendiri, Kak. Lagian, siapa yang minta-minta dibikinin susu malam-malam sekarang? Yang ada malah kamu mager ngambil minum di dapur terus nyuruh aku!"
Gita tertawa lebih keras, merasa suasana di antara mereka semakin cair dan nyaman. Canda tawa Oniel benar-benar berhasil membuatnya melupakan sejenak semua masalah yang sedang dihadapinya. Ia merasa bersyukur memiliki Oniel di sisinya, seseorang yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik bahkan di saat-saat tergelap.
"Kamu emang hebat, Niel. Aku beruntung banget punya adik seperti kamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tahu harus gimana," ujar Gita sambil menatap Oniel dengan penuh rasa terima kasih.
Oniel tersenyum hangat, menyadari betapa pentingnya dirinya bagi Gita. "Aku juga beruntung punya kakak seperti kamu, Kak. Jadi, jangan khawatir. Kita akan selalu saling dukung, apa pun yang terjadi."
Gita mengangguk pelan, setidaknya Gita tahu bahwa ia tidak sendiri. Mereka berdua kemudian duduk berdampingan di kasur, menikmati kehangatan momen itu sambil berbicara tentang hal-hal ringan, membiarkan tawa mereka mengisi ruangan dan menenangkan hati mereka.
•••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
UNRAVEL
Фанфик𝘈𝘯𝘥 𝘪𝘧 𝘪 𝘴𝘢𝘪𝘥 𝘪 𝘭𝘰𝘷𝘦𝘥 𝘺𝘰𝘶, 𝘸𝘰𝘶𝘭𝘥 𝘺𝘰𝘶 𝘵𝘸𝘪𝘴𝘵 𝘪𝘵 𝘭𝘪𝘬𝘦 𝘢 𝘬𝘯𝘪𝘧𝘦? 𖦹𖦹𖦹 𝙐𝙣 • 𝙧𝙖𝙫 • 𝙚𝙡𝙚𝙙; 𝙐𝙣 • 𝙧𝙖𝙫 • 𝙚𝙡 • 𝙞𝙣𝙜; 𝖵𝖾𝗋𝖻 1. 𝘜𝘯𝘥𝘰; 2. 𝘐𝘯𝘷𝘦𝘴𝘵𝘪𝘨𝘢𝘵𝘦 𝘵𝘰 𝘴𝘰𝘭𝘷𝘦 �...