2. Ultimatum

317 12 0
                                    

Seminggu sebelumnya...

"Astagfirullah Nduuk... jadi begini kelakuanmu selama Ayah dan Bunda tidak dirumah?!" Bachtiar mengusap wajahnya kasar. Putri satu-satunya itu berubah menjadi liar sejak dia sibuk mengurusi bisnisnya di Makasar. Amara istrinya hanya bisa terduduk lemas melihat pemandangan di depannya.
Putrinya memakai kaos ketat dan celana yang hanya bisa menutupi bokongnya.

"Ayah...hiks" Humaira memasang wajah puppy eyesnya. Gadis yang biasanya selalu bermanja-manja pada Sang Ayah saat Sang Ayah pulang dari perjalanan bisnis itu sekarang hanya mampu tertunduk meremat jari-jarinya.
Gara-gara Ayahnya pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu, Huma tidak mempersiapkam dirinya dengan baik.

"Diam! Ayah tidak ingin mendengar alasan apapun. Siapa yang membelikan kamu baju-baju menjijikkan ini ha?!" Bentak Bachtiar dengan pandangan nyalang.

Oh rasanya Huma ingin bertemu Meilan sahabatnya saat ini juga. Salahkan Meilan yang meracuninya memakai pakaian-pakaian seksi yang membuatnya sangat nyaman sekarang.
"Ah dasar Mailan!" Batin Huma geli.

"Cepat ganti baju yang layak! Dan kembali kesini karena ayah belum selesai menasehatimu!" Tegas Bachtiar. Mendengar perintah Ayahnya Humaira segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
Bachtiar menghempaskan dirinya duduk di sofa.
"Sabar Yah... maafin bunda. Ini salah bunda mengijinkan Huma melanjutkan kuliah di Universitas Negeri. Mungkin teman-teman kuliah dari berbagai daerah dan berbagai karakter yang membuat putri kita jadi terpengaruh Yah. Apa Bunda sementara tinggal dirumah dulu Yah ngawasi Huma?" Amara menyentuh lembut bahu suaminya. Wanita itu cukup khawatir dengan keadaan putrinya.

"Ayah nggak bisa kalau jauh dari bunda..." Bachtiar meraih bahu istrinya merapatkan dekapannya.
"Ayah! Keadaan lagi genting juga malah mentingin diri sendiri." Kesal Amara. Gemas juga pada suaminya yang masih saja bucin padahal usia sudah diatas 45 tahun.

"Udah, kita bawa aja Huma. Tidak usah dilanjutkan kuliahnya. Atau  sebaiknya kita nikahkan saja dia biar kita tenang bun. Nanti biar kuliahnya dilanjutkan setelah menikah." Usul Bachtiar membuat Amara membulatkan matanya.

"Ayah! Mana bisa begitu Yah, Huma masih terlalu muda Yah, lagian kelakuannya seperti itu, mana ada relasi Ayah yang mau nerima jadi menantunya. Sebaiknya kita fokus bimbing Huma dulu jadi anak baik Yah, baru kita nikahkan. Ayah ini..." protes Amara usai mendengar usulan suaminya yang tidak masuk akal.

"Bunda tenang saja. Ayah sudah tahu siapa relasi Ayah yang akan menerima putri kita dengan senang hati. Lagian, apa bunda lupa bahwa kita punya putri yang sangat cantik secantik bundanya? Hmm?" Ujar Bachtiar menaik turunkan kedua alisnya. Amara memutar bola matanya malas. Suaminya itu memang hobby sekali memujinya.

"Tapi cantik saja tidak cukup Ayaaah..." protes Amara.

"Tenanglah sayang... kita justru akan mencarikan suami untuk putri kita pria yang sholih yang nantinya bisa membimbingnya." Bachtiar mengusap lembut bahu istrinya untuk menenangkan Sang Istri.

"Siapa Yah? Bunda jadi kepo nih..." Amara menatap antusias pada suaminya. Sedang suaminya hanya tersenyum-senyum menatap penuh makna.

"Ayahh?" Amara semakin tidak sabar. Bachtiar terkekeh dengan sikap istrinya yang membuatnya gemas. Pria itu pun membisikkan sesuatu ditelinga istrinya yang seketika matanya membulat karena tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Obrolan suami istri itupun terhenti karena suara kaki putrinya yang kini sudah berhenti tepat di depan keduanya.
Humaira sudah mengenakan piyama panjangnya untuk tidur. Gadis itu masih berdiri dan menunduk gelisah.

"Sini! Duduk!" Perintah Bachtiar.
"Ayah..." lirih Huma hendak bicara namun terpotong langsung oleh ucapan Ayahnya.

"Sekarang Ayah kasih kamu pilihan Huma! Pindah Kuliah di Kampusnya Abuya Mukhlisin Abdillah atau pindah kuliah di Makasar biar bisa Ayah Bunda awasi, atau tetap kuliah disini tapi Ayah panggilkan guru ngaji kerumah?" Tawar Bachtiar yang langsung membuat putrinya tercengang.

"Ayah! Huma nggak mau semua Ayah..." rengek Huma kali ini gadis itu menggunakan jurus andalannya. Memeluk erat Sang Ayah sambil mengeluarkan air mata buayanya.

"Siapa juga yang mau kuliah di kampusnya Abuya Mukhlisin, itukan kampus Islam. Semua jurusannya ilmu Syari'ah. Ogah amat" batin Huma kesal.
"Apalagi ikut ke Makasar, sama aja masuk dalam penjara.." tambahnya.

"Ayah hanya minta kamu memilih salah satu Huma, itu jika kamu tidak ingin kehilangan fasilitas mewahmu dan Debitmu Ayah batasi, Kartu Kreditmu juga Ayah tarik!" Jelas Bachtiar.
Humaira membulatkan kedua bola matanya.
"Oh No! " batinnya panik.

Amara hanya bisa diam saja mendengar keputusan suaminya. Wanita itu selama ini memang selalu menjadi istri sholehah yang tidak pernah berani membantah segala ucapan suaminya. Selalu lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Hal itu yang membuat Bachtiar sangat mencintai Amara dan tidak bisa jauh-jauh dari istrinya. Dan sayangnya, putri semata wayangnya justru tidak menuruni akhlaq baik bundanya.
Mungkin salahnya juga karena terlalu memanjakan Huma sejak kecil. Dan itu berimbas dengan sikapnya sekarang yang tidak disiplin dan semaunya sendiri.
Bachtiar merasa gagal mendidik putrinya. Jadi dia harus mencari cara untuk memperbaiki semuanya.

"Ayah...." rengek Huma.

"Pilih salah satu!." tegas Bachtiar lagi.
Humaira terdiam dengan bibir cemberutnya. Matanya mengerjap-ngerjap seolah sedang berpikir.

"Baiklah Ayah. Emm... Huma memilih private ngaji saja dirumah. Huma nggak mau pindah kuliah Ayah.." ucap Huma lirih dengan menundukkan kepalanya.

Bachtiar sudah menduganya. Putrinya pasti tidak ingin ikut dirinya ke Makasar. Dan dia sangat paham kenapa putrinya lebih memilih dipanggilkan Ustadz. Jangan dikira dia tidak tahu apa yang ada di dalam otak putrinya.

"Ok, kamu sudah memilih. Ayah harap kamu tidak menyesali pilihanmu sayang. Ingat, mulai sekarang jaga perilakumu kalau tidak ingin Ayah bawa kamu ke Makasar." Tegas Bachtiar.

"Semua yang Ayah lakukan untuk kebaikanmu sayang..." Amara mendekati putrinya. Merangkul bahu Humaira dan mengusapnya lembut.

"Iya bunda.." lirih Humaira.

Amara membelai rambut putrinya dengan sayang. Mengecup kening putrinya beberapa saat.

"Sudah, sekarang Ayah sama Bunda akan pergi ke pesantren Abuya Mukhlisin untuk mencari Ustadz yang bersedia mengajar kamu. Apa kamu mau ikut memilih ustadznya sayang?" Tawar Bachtiar.

"Nggak Ayah, Huma dirumah saja." Jawab Huma pelan.

"Baiklah. Jadi terserah Ayah kan nanti Ustadznya?" Humaira mengangguk patuh. Sesungguhnya dia tidak perduli Ayahnya mau memanggil siapa. Jika perlu tidak usah sekalian.

"Ok, Ayah Bunda pergi dulu. Kamu baik-baik dirumah. Ingat, kamu sudah memilih keputusan ini. Ayah harap kamu bisa bertanggung jawab dengan keputusan yang kamu ambil ini sayang. Dan jangan pernah kamu  menyesalinya." Tegas Bachtiar. Pria itu mengusap lembut puncak kepala putrinya. Di ikuti istrinya Amara yang memeluk putrinya sejenak lalu segera berjalan mengekor dibelakang suaminya.

Humaira menghempaskan kembali dirinya di sofa panjang. Otaknya terus berputar mencari jalan keluar agar dirinya bisa terbebas dari seluruh aturan Ayah Bundanya. Selama setahun ini dirinya sudah begitu nyaman dengan segala aktivitasnya. Bebas dan bisa kemana saja dengan memanipulasi pengawasan Bik Rahma yang sangat baik hati.
Bibiknya yang ditugaskan Ayah Bundanya untuk mengawasinya itu sudah sangat bisa dia atasi.
Dengan jurus rayuan manja dan tangisan buaya, biasanya Bik Rahma selalu luluh dan bersedia menurutinya.

Tapi Ayahnya? Humaira tidak ingin menentang Sang Ayah karena Ayahnyalah support systemnya. Meski Bachtiar sangat disiplin tapi Ayahnya itu tidak pernah pelit padanya. Kartu Debitnya tidak pernah kosong, kartu Kreditnya juga selalu rutin dilunasi tagihannya. Huma memilih menjadi gadis penurut sementara ini, terpenting cairan dana lancar.
Toh kedua orang tuanya setelah ini akan sibuk kembali di Makasar.

"Soal Ustadz?... tunggu aja kamu Pak Ustadz... kamu bakalan nyesel udah nerima tawaran jadi guru ngajiku.." batin Huma dengan seulas senyum smirknya.

Double update
Maaf part ini agak pendek ya...
Hope you like it.
And don't forget for vote..
Makasih...

Merried With UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang