5. Suamiku

255 10 5
                                    

Huma membuka kedua kelopak matanya perlahan. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, wanita itu mencoba bangun bersandar di kepala ranjang.
Badannya serasa remuk semua. Rambutnya masih terbungkus handuk. Matanya melirik pada nakas dimana lampu tidur berada. Ada secarik kertas kecil disana.
Jari Huma terulur meraih kertas kecil dengan tulisan miring yang sangat rapi.

Assalamualaikum Istriku...
Jangan lupa sarapan ya...
Kakak harus berangkat kerja. Hari ini ada jadwal meeting pagi di kantor dan ada kelas kuliah umum di kampus
Maaf nanti sore kakak baru bisa pulang.
Khusus hari ini kamu istirahat dirumah saja ya. Tadi sudah aku ijinkan di kampus.
Sayang... terima kasih ya semalam...
Nanti malam lagi ya...

Suamimu...

"Astaga..." Humaira meremas kertas kecil ditangannya lalu melemparkannya ke dinding.
"Apa itu? Nanti malam lagi? Enak saja! Ini saja masih sakit Miss Vnya. Dasar suami mesum." Batin Humaira kesal.

Huma meraih ponselnya yang sejak semalam tidak sempat wanita itu sentuh. Mana sempat jika Fatah terus saja mengerjainya. Meminta haknya berkali-kali. Pria itu seperti orang kesetanan. Covernya saja yang alim dan sopan. Kenyataannya semua laki-laki sepertinya sama jika melihat daging segar.
Astaga Humaira mendengus kesal saat menyadari dirinya malah mengumpamakan daging segar tubuhnya.

Huma menekan tombol panggilan pada kontak bundanya.
"Bunda...hiks..." panggil Huma saat ponselnya mulai tersambung.
"Lho sayang.. kenapa nangis...?" Tanya Amara khawatir di sebrang sana.
"Sakit bunda... itu Huma.. em.. sssakit.." rengek Huma.
"Itu apa sayang? Apanya yang sakit?" Tanya Amara polos karena ucapan putrinya yang ambigu. Dan selanjutnya putrinya itu hanya terus bisa menangis menceritakan semuanya pada Bundanya tentang kisah malam pertamanya. Walau tidak semua Huma ceritakan secara detail, Amara sudah bisa mengambil kesimpulan. Tentu saja dirinya dulu juga mengalami hal yang sama seperti putrinya. Bisa dipastikan Ayahnya justru mungkin lebih parah dari suami Huma saat ini. Bachtiar bahkan harus membawanya kemanapun agar tidak jauh dari pandangan suaminya. Dan tentu saja Bachtiar bisa menyentuhnya kapan saja saat pria itu ingin.

"Tenang sayang, Bunda akan meminta Bik Rahma membelikan cream untuk lukamu. Sudah jangan nangis ya. Kamu baik-baik ya sama Kak Fatah. Ingat dia suamimu sekarang. Dan tenang saja dia sudah janji tidak akan menghamilimu sampai pernikahan resmi kalian nanti bulan depan. Ok. Nanti kita sambung lagi ya... Assalamualaikum sayang..." Amara mengakhiri panggilannya setelah putrinya menjawab salamnya.

Pantas saja suaminya semalam selalu mengeluarkan spermanya di luar. Entah kenapa hati Huma jadi makin gelisah mendengar bahwa sebulan lagi mereka akan resmi menikah.
Oh Tidak! Huma harus mencari cara agar pernikahan resmi itu tidak terjadi. Huma tidak ingin menikah semuda ini. Tidak!

"Tok..tok... Non... ini bibik..."
"Iya Bik...masuk..." Bik Rahma membuka pintu perlahan lalu tersenyum masuk.
"Wah pengantin baru.. masih pake handuk aja..." goda bik rahma.
"Bibik!" Ketus Huma membuat Bik Rahma terkekeh geli.
"Hehehe... Ini non. Di olesin sendiri apa dibantu bibik? Kalau nunggu Mas Ustadz Suami Ganteng kan masih lama pulangnya...."canda Bik Rahma lagi membuat Huma memutar bola matanya malas. Berbanding terbalik dengan reaksi kedua pipinya yang merona.
"Sini. Huma oles sendiri saja!" Ketus Huma merebut kasar saleb ditangan Bik Rahma.

"Aduh galake. Udah jadi istri Ustadz itu nggak boleh galak-galak Non.."
"Bodo amat!" Balas Huma. Bik Rahma kembali terkekeh.
"Ya udah, segera di oles ya Non. Itu cream mahal dari Bundanya non. In Shaa Allah dua atau tiga jam-an bisa langsung meredakan sakitnya. Dan nanti malam sudah bisa anu lagi sama Mas Ustadz..."
"Bibik! Apaan sih! Udah keluar sana... dasar!" Usir Humaira. Bik Rahma terkekeh geli lalu segera kabur dari kamar Nonanya.

Merried With UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang