Rumah sedang sepi.
Riana ada di dalam kamarnya melakukan entah-apa, Gitta pergi membeli makan malam, Athena keluyuran bersama teman-temannya. Sedangkan Hafisa? Hafisa duduk sendirian di sofa ruang tengah, memeluk bantal erat-erat. Matanya menatap kosong ke arah televisi, pikirannya melayang kemana-mana. Tidak juga, sih. Sebenarnya pikiran Hafisa hanya melayang ke satu arah—ke satu anak laki-laki, lebih tepatnya.
Hafisa menghela napas berat, pikirannya kembali terlempar pada kejadian kemarin malam. Saat ia mendatangi Hafizh ke—mengutip kata Dery—tempat tongkrongannya.
Hafisa menatap jari-jarinya lekat. Kepalanya ditundukkan dan kakinya bergerak-gerak gelisah. Meskipun fokus Hafisa adalah jari tangannya yang berukuran lebih kecil dari orang kebanyakan, Hafisa tau pasti kalau sedari tadi anak laki-laki yang duduk tepat di hadapannya itu tidak berhenti memandanginya.
Ragu-ragu, Hafisa mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung bertabrakan dengan kedua bola mata Hafizh yang menatapnya dengan kilatan emosi yang tidak Hafisa mengerti. Hafisa benar-benar berharap Hafizh mengatakan sesuatu karena keheningan yang menyelimuti mereka mulai membuat Hafisa merasa tidak nyaman.
Baiklah, Hafisa sadar sepenuhnya kalau Hafizh berhak marah padanya. Dan mungkin memelototi Hafisa sampai perempuan itu takut setengah mati adalah salah satu cara Hafizh untuk menunjukkan kemarahannya. Tapi Hafisa benar-benar berharap Hafizh mengatakan sesuatu. Apapun asalkan tidak menatapnya dalam diam. Setidaknya mendengar Hafizh berteriak kalau tindakannya malam ini benar-benar bodoh lebih baik daripada—
"Gue gak bisa lama-lama."
Satu kalimat dari Hafizh sukses membuat Hafisa menghembuskan napas lega. Meskipun kalimat itu disuarakan dengan nada datar, tapi Hafisa bersyukur. Setidaknya Hafizh masih mau berbicara padanya.
"Kenapa?" tanya Hafisa pelan.
Hafizh diam selama beberapa saat, terlihat menimbang-nimbang sebelum kembali buka suara "Masih ada balapan."
Kedua bola mata Hafisa langsung membesar saat mendengar jawaban Hafizh. Selama bertahun-tahun ia mengenal Hafizh, tidak pernah sekalipun nama Hafizh dan kata balapan diucapkan dalam satu kalimat. Hafizh yang ia kenal sangat anti terhadap segala sesuatu yang sia-sia dan tidak memiliki manfaat. Hafizh yang ia kenal selalu mengerjakan pekerjaan rumah dan beribadah tepat waktu. Bahkan, Hafizh yang ia kenal pernah menjuarai lomba MTQ antar sekolah.
Lalu Hafizh yang sekarang duduk di hadapannya ini siapa?
Hafisa tau kalau Hafizh memang sudah berubah—banyak orang yang memberitahunya tentang hal itu. Tapi Hafisa tidak menyangka kalau perubahan yang terjadi pada Hafizh, yah, sedrastis ini. Hafisa lalu mengamati Hafizh sekali lagi. Garis rahangnya, mata cokelatnya, bibirnya yang tipis, semua masih sama seperti dulu. Tapi tetap saja, Hafisa bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Hafizh.
Hafizh masih Hafizh yang sama tapi juga Hafizh yang berbeda. Masuk akal tidak sih?
Derit kursi yang digeser menyeret Hafisa keluar dari lamunannya. Cepat-cepat ia mengerjapkan mata dan mendapati Hafizh yang sudah berdiri, bersiap untuk melangkah pergi. "Hafizh," panggil Hafisa tanpa bisa ditahan, membuat Hafizh kembali menoleh malas-malasan. "Memangnya kalau kamu gak ikut balapan... kenapa?"
Hafizh berdecak pelan saat mendengar pertanyaan Hafisa. Ekspresi Hafizh seakan mengatakan kalau jawabannya sudah sangat jelas sementara Hafisa hanya bisa mengangkat bahu, mengisyaratkan kalau ia benar-benar tidak tau apa jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
"Kalau gue gak ikut balapan, ya gue gak dapat duit lah, bego," balas Hafizh sedikit ketus pada akhirnya. Hafisa mangut-mangut, terlihat tidak perduli dengan fakta kalau Hafizh baru saja memanggilnya dengan kata 'bego'.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quirky Records of Friday Night
Ficção AdolescenteFour girls, one house. Apa jadinya kalau empat orang gadis remaja yang sedang having the time of their life diletakkan di dalam satu rumah? Piring kotor yang menumpuk, jemuran lembab yang terlambat diangkat, kain kusut yang menunggu untuk disetrika...