Riana memainkan tasnya sambil berdiri di depan gerbang sekolah. Matanya menatap resah ke arah samping, tempat dimana pangkalan ojek berada. Tempat itu kosong melompong, tidak ada satu motorpun. Riana melebarkan pandangannya, berharap ada manusia yang baik hati ingin mengantarnya pulang.
"Na, balik duluan ya!" Beberapa orang yang ia kenal mulai berpamitan pergi, dengan jemputan maupun dengan kendaraan umum. Sebenarnya Riana bisa saja naik angkot pulangnya. Hanya saja, tempat angkot itu berhenti benar-benar jauh dari rumahnya.
Riana mengangguk pasrah sebagai jawabannya lalu bersender pada tembok gerbang Sekolah. Dilihatnya Davio keluar dari gerbang sekolah dengan aura dinginnya yang membuat Riana merasa menggigil–hanya perasaan Riana saja, sih–namun tetap memandangi Davio. Seketika, sebuah ide muncul di kepalanya.
Riana berlari menghampiri Davio yang sedang menunggu bus di halte depan sekolah, "Hai, Dav! Mau balik ya?"
Davio melirik Riana sekilas lalu kembali memfokuskan pandangannya ke arah bus yang sudah terlihat dari jauh. "Udah tau gue mau balik, masih aja nanya."
Riana memajukan bibirnya, cemberut, "Dav ... jangan galak-galak gitu dong ... gue kan mau ngom–"
Belum Riana selesai bicara, bus yang ditunggu Davio sudah datang. "Mau ngomong apa? Sebelum ngomong sama gue, lebih baik lo pikirin bener-bener mau ngomong apa. Gue gak suka ada yang nyita waktu gue dengan hal yang tidak penting."
Panjang, lebar dan menohok. Riana akhirnya pasrah melihat sosok Davio yang sudah memasuki bus dan lama-kelamaan menghilang dari pandangannya. Ia teringat akan perkataannya waktu itu terhadap Hafisha, mengapa kali ini malah jadi Riana yang mengejar-ngejar targetnya? Riana berjalan lesu ke pangkalan ojek, berharap menemukan seorang tukang ojek. Namu hasilnya nihil, masih tidak ada satu motorpun di sana.
Kapan ojek datang, ya Allah, batinnya dalam hati. Entah kebetulan atau bukan, seseorang datang dengan mengendarai motornya. Jaket kulit, masker, serta helm hijau.
Tukang ojek!
Riana buru-buru menghampiri orang itu. "Bang, komplek deket supermarket situ, ya!" ujar Riana sambil menaiki motor itu.
"Eh, gue buk–"
"Udah, Bang. Jalan aja sih. Nanti saya bayar." Riana tidak peduli dengan apa yang diucapkan orang itu. Yang ia mau hanya satu. PULANG.
"Tapi-"
"30 ribu, deh!"
Orang itu akhirnya pasrah dan mengendarai motornya ke arah yang di tuju.
Sepanjang perjalanan, yang Riana lakukan hanya diam. Riana bukanlah seseorang yang dapat berbicara dengan mudahnya kepada orang asing. Perjalanan itu benar-benar sunyi, hingga mereka berhenti di depan komplek karna ada ibu-ibu yang sedang menyebrang.
"Hmm," Ojek itu berusaha memulai pembicaraan. Walaupun terdengar sedikit ragu, akhirnya ia berhasil melanjutkan sambil kembali mengendarai motornya. "Lo kenal sama cewek yang suka main gitar ga?"
Riana yang sedang tidak konsen ditambah suara angin yang kencang membuat gadis itu tidak mendengar perkataan ojek tadi. "Hah? Apa?"
"Jadi, gini," Tukang ojek itu mulai mengeluarkan suaranya lagi. Kali ini Riana memfokuskan perhatiannya kepada cerita si abang agar dapat mendengar dengan jelas. "Gue waktu itu malem-malem ke sekolah lo, terus ketemu cewek main gitar gitu. Bagus deh mainnya."
Lah, curcol nih orang, gumam Riana dalam hati. Tapi, kasian juga sih nih abang, berusaha mencari cintanya yang hilang.
"Emang, Abang liatnya kapan?" tanya Riana, berusaha membantu. Yah, siapa tahu Riana mengenal orang yang dimaksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quirky Records of Friday Night
Teen FictionFour girls, one house. Apa jadinya kalau empat orang gadis remaja yang sedang having the time of their life diletakkan di dalam satu rumah? Piring kotor yang menumpuk, jemuran lembab yang terlambat diangkat, kain kusut yang menunggu untuk disetrika...