Gitta melangkahkan kakinya malas-malasan memasuki gerbang sekolah Athena yang catnya sudah pudar dan keropos sana-sini. Tangan kanannya yang dipoles kuteks warna bening sibuk melempar-tangkap kunci mobil dalam genggamannya. Seharusnya sekarang Gitta sudah berada di rumah, duduk santai sambil menonton TV dan makan camilan-kalau saja Athena tidak memaksa Gitta untuk menjemputnya, berhubung Athena harus mengikuti remedial sepulang sekolah dan sialnya ia tidak membawa motor.
Gitta lalu memasukkan tangannya ke dalam kantung hoodie yang ia kenakan. Meskipun Gitta cukup sering keluar masuk sekolah Athena, ia tetap merasa tidak nyaman kalau harus berjalan di koridor dengan seragam yang mengindikasikan kalau ia berasal dari sekolah lain. Setengah hati, Gitta bergegas menuju kelas Athena dan langsung mendelik sebal saat mendapati sepupunya itu masih sibuk berkutat dengan lembaran soal di hadapannya. Tau gini gue santai-santai dulu di rumah, dengusnya dalam hati.
Daripada menunggu Athena di depan kelas sendirian, Gitta memutuskan untuk melangkah asal-asalan, mengikuti kakinya tanpa punya tujuan yang jelas. Setelah belasan menit berjalan sendirian, langkah kaki Gitta terhenti tepat di sisi koridor yang mengarah langsung ke lapangan basket. Segerombolan anak laki-laki dengan seragam olahraga yang basah karena keringat sibuk berlari ke sana-kemari, berusaha merebut bola dan melemparkannya langsung ke dalam ring.
Tanpa Gitta sadari ia bersedekap seraya menyandarkan punggungnya di dinding, mengamati wajah-wajah penuh peluh yang bermain di bawah cahaya matahari satu persatu. Mendadak pembicaraan yang ia langsungkan dengan sepupu-sepupunya malam Jumat kemarin kembali memenuhi pikirannya. Target ya, batin Gitta gusar, gue harus nargetin siapa? Sekian banyak cowok di Bumi ini kenapa gue gak kepikiran satu pun, sih?
"Serius banget, Neng, ngeliatin berondong."
Kalimat bernada jahil yang dilontarkan seseorang dengan suara familiar itu cukup untuk menyeret Gitta keluar dari lamunannya. Cepat-cepat ia menoleh dan mendapati Genta yang berdiri tak jauh darinya dalam balutan kaus putih polos dan celana training. Sebotol air mineral dan dua bungkus Sari Roti rasa keju memenuhi genggamannya.
Gitta mendengus keras. Ada tujuh miliar orang di muka Bumi ini, tapi kenapa satu-satunya orang yang selalu ia temui secara kebetulan hanyalah Genta? "Lo ngapain di sini?" tanya Gitta malas.
"Biasalah." Genta mengangkat bahu. "Menuntut ilmu demi mewujudkan cita-cita gue. Lo?"
Untuk kedua kalinya Gitta mendengus. "Gue juga tau kali kalau sekolah itu tempat menuntut ilmu. Maksud gue-" Mendadak Gitta menghentikan ucapannya. Tadinya ia ingin bertanya, kenapa Genta masih ada di sekolah meskipun proses belajar mengajar sudah selesai beberapa jam yang lalu. Tapi Gitta mengurungkan niatnya. Kesannya gue kepo banget. "Gue mau jemput Athena," tambah Gitta pendek.
Genta hanya bisa mangut-mangut sambil berjalan mendekat ke arah Gitta yang kini sudah mengembalikan fokusnya pada pertandingan basket yang berlangsung di lapangan. Dari sudut matanya, Gitta tahu kalau Genta mengamatinya dengan sorot penasaran, namun Gitta memilih untuk pura-pura tidak menyadarinya.
"Lo tau kan kelas Athena di sana?" tanya Genta dengan alis dinaikkan, telunjuknya di arahkan ke koridor yang berlawanan arah dengan tempat mereka berdiri.
Gitta mengangguk. "Gue udah ke kelasnya tadi, tapi dia kayaknya masih sibuk. Ogah banget kalau gue nungguin dia kayak orang bego di depan pintu, makanya gue ke sini," terang Gitta tanpa diminta. Dari pada nanti dia nanya-nanya kayak presenter gosip? Mending gue jelasin sekalian, batin Gitta pada dirinya sendiri. Entah kenapa, semenjak Athena mengusulkan Gitta agar menargetkan Genta, ia jadi merasa aneh setiap kali melihat ataupun mengingat laki-laki itu. Rasanya ada yang... salah.
"Bener juga sih, Git," Genta memasang ekspresi sok serius. "Daripada lo liatin dinding mending liatin berondong di sini, kan?"
Kalimat terakhir yang Genta ucapkan dengan nada menggoda sukses membuat Gitta nyaris melayangkan jitakan ke kepala laki-laki menyebalkan itu. Nyaris. "Bibir lo minta dikobokin sambel ya," balas Gitta galak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quirky Records of Friday Night
Teen FictionFour girls, one house. Apa jadinya kalau empat orang gadis remaja yang sedang having the time of their life diletakkan di dalam satu rumah? Piring kotor yang menumpuk, jemuran lembab yang terlambat diangkat, kain kusut yang menunggu untuk disetrika...