Rumah yang ditempati empat gadis remaja itu terlihat sepi dibandingkan biasanya. Gitta sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaran di dalam kamarnya karena sebentar lagi ia akan menghadapi pekan ulangan, sementara Riana pergi ke rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok. Tidak perlu repot-repot bertanya ke mana Athena, karena diantara mereka bertiga tidak ada yang tahu ke mana gadis itu pergi.
Dan di sinilah Hafisa, berurusan dengan tumpukan baju-baju kusut miliknya dan ketiga sepupunya yang menunggu untuk disetrika. Malang sekali nasibnya hari ini, karena tumpukan baju-baju itu terlihat lebih banyak dibandingkan biasanya. Siap-siap tangan bakal pegel-pegel nih, keluh Hafisa dalam hati.
Baru saja Hafisa selesai menyetrika baju yang ke empat, Gitta keluar dari kamar dengan muka tak bersahabat. Rambutnya yang dijepit menggunakan jeday sudah terlihat tak beraturan. Mata Hafisa mengikuti gadis berkacamata itu berjalan ke dapur, berniat mengambil camilan untuk menemaninya belajar.
"Fis," panggil Gitta dari dapur, "liat klanting gue yang kemarin ditaro di lemari gak?"
"Lemari apa?" tanya Hafisa, memiringkan posisi setrikaan agar tidak mengenai baju.
"Lemari dapur lah, yang di atas kompor." Gitta menyembulkan kepalanya dari ambang pintu dapur. "Liat gak?"
"Klanting itu ... apa?" Hafisa memiringkan kepalanya sedikit.
"Ituloh, yang bentuknya kayak angka delapan."
"Oh," Hafisa mengangguk-angguk, "iya, tau. Yang warnanya kaya putih kekuningan gitu, kan?"
"Ada yang warna pink juga," balas Gitta.
"Iya, gue tau!" seru Hafisa bersemangat. "Yang rasanya-"
Gitta mengaduh keras, memotong perkataan Hafisa, "Tinggal jawab aja sih, liat apa enggak?"
Hafisa cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe, enggak sih. Emang kenapa, Git?"
"Tinggal bilang iya apa enggak aja lama banget." Gitta mendengus kesal. Ia pun kembali ke dalam kamar dengan tangan kosong.
Hafisa kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Gadis berponi itu tak henti-hentinya menggerutu. Rasanya Dewi Fortuna hari ini sedang tidak berpihak padanya. Tumpukan baju itu seolah-olah tertawa melihat penderitaan Hafisa.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang dibuka. Hafisa spontan menoleh, mendapati Riana yang masih mengenakan seragam sekolah plus sweater biru dan tas ransel yang tersampir di bahunya.
"Itu tumpukan baju atau apa?" tanya Riana, melepas sepatu kemudian meletakkannya di rak sepatu di dekat pintu.
Hafisa mengangkat bahu. "Baju-bajunya Athena nih yang numpuk. Biasanya kan dia males kalo bajunya dicuci," ujarnya sambil memberengut.
Riana hanya membalas dengan senyuman kecil. Ia pun menuju ke kamar, meninggalkan Hafisa yang harus kembali berkutat dengan baju-baju kusut.
***
Sudah terlihat ada dua tumpukan baju yang Hafisa setrika, tetapi masih ada dua tumpukan baju kusut lagi yang menunggu giliran untuk disetrika. Dan untuk kesekian kalinya, Hafisa menghela nafas berat sembari menggerak-gerakkan tangan kanannya yang mati rasa akibat terlalu lama memegang setrika.
"Belum selesai juga, Fis?" tanya Riana yang baru saja selesai mandi. Hafisa menjawab dengan sebuah gelengan kecil. "Yaudah, gak usah dilanjutin. Biar besok gue aja yang lanjutin."
"Bener?!" Mata Hafisa langsung berbinar-binar. Melihat Riana mengangguk, gadis itu langsung berdiri dan bersorak kegirangan. Pun ia langsung mendudukkan pantatnya di sofa yang ada di ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Quirky Records of Friday Night
Teen FictionFour girls, one house. Apa jadinya kalau empat orang gadis remaja yang sedang having the time of their life diletakkan di dalam satu rumah? Piring kotor yang menumpuk, jemuran lembab yang terlambat diangkat, kain kusut yang menunggu untuk disetrika...