Spin-Off : Adik?

266 19 0
                                    

Aku berusia 12 tahun ketika ayah dan papaku membawa seorang anak laki-laki yang mereka perkenalkan sebagai 'adikku'. Aku tidak tahu alasan mereka, lebih tepatnya aku tidak peduli. Bagiku, selama dia tidak mengangguku, aku tidak keberatan.

"Mew, perkenalkan dia adalah Earth, dia akan tinggal disini sebagai adikmu..."

Aku hanya mengangguk, mendengar perkataan ayahku. Mau bagaimana lagi, sedari kecil aku tidak pernah bisa untuk mengekspresikan perasaanku. Kulirik anak itu, dia terlihat menunduk, sembari memilin jari kurusnya gugup. Aku menyerngitkan alisku bingung, apa dia takut padaku?.

Anak itu tampak begitu kurus, awalnya kukira ia berusia 3 tahun dibawahku, namun kenyataannya dia berusia hanya satu tahun dibawahku. Kurus sekali, pikirku.

"Mew tunjukan kamar Earth ya, ayah dan papa masih harus kembali ke kantor"

Aku lagi dan lagi hanya bisa mengangguk, kulihat ayah dan papaku yang perlahan menghilang dari balik pintu besar rumah ini. Harusnya aku sudah terbiasa dengan kesibukan mereka, namun hari ini entah kenapa, emosiku tiba-tiba naik, aku merasa benci ketika mereka mengabaikan kehadiran anak ini. Mereka yang membawanya, tapi meninggalkan tanggung jawabnya kepadaku.

"Ikuti aku"

Anak itu mengangguk cepat dan segera berjalan mengikutiku, kakiku melambat ketika menyadari bahwa kaki pendek itu kesulitan untuk menyusulku. Aku berbalik dan segera merebut 2 tas berisi pakaian yang sedang di bawanya.

"E-eh p-phi biar aku saja"

Aku hanya diam dan segera melanjutkan langkahku. Kami berjalan dalam keheningan, yah setidaknya anak ini tidak berisik seperti 2 bocah lain yang sering ayahku bawa kesini.

Kakiku berhenti di depan pintu coklat didepan kamarku, aku membuka pintu itu, dan menaruh 2 tas di genggamanku ke atas ranjang.

"Ini kamarmu.." -aku menunjuk kamar diseberang kamar ini- "dan itu adalah kamarku"

Anak itu mengangguk patah-patah, aku hanya mendengus malas dan segera berlalu meninggalkan kamar ini.

.

.

.

"Tuan muda, ayo bermain"

Aku mendengus malas melihat kehadiran 2 bocah yang selalu saja mengangganggu waktu santai ku. Mataku tetap tertuju pada buku ditanganku, tidak berniat menganggapi kedua bocah mengesalkan itu.

"Stt.. Phi Tul, sepertinya tuan muda sedang tidak ingin bermain"

Kulirik sekilas ke dua bocah yang sedang asik berbisik satu sama lain itu. Dasar aneh, apa gunanya mereka berdua berbisik, jika suara mereka masih sekeras toa.

"Phi...!!"

Aku menoleh ke arah panggilan itu, tanganku bergerak untuk memanggilnya. Ya, ini sudah sebulan setelah kedatangannya, dan rupanya memiliki adik sepertinya tidak buruk juga.

"Phi sedang apa?" Tanyanya sembari duduk di depanku.

"Membaca"

Dia hanya mengangguk, mata bulatnya melirik ke arah 2 bocah lain yang sedang berdiri di depan gazebo.

"Kalian mau bermain?"

Mix mengangguk semangat, "iya, apakah tuan muda mau bermain bersama kami?"

Kulirik bocah itu, dia mengangguk antusias, mereka kemudian berjalan meninggalkan gazebo ini.

Sreek

Aku mendongak, menatap bingung Tul yang malah mengambil duduk disebelahku, "kau disini?"

Bocah itu hanya mengangguk, disertai dengan senyum manis yang selalu terpatri diwajah tampannya. Aku bahkan sangat yakin, wajah bocah di hadapanku ini akan mampu membuat jutaan wanita menangis ketika ia dewasa nanti.

"Tuan muda"

Aku diam, menunggu apa yang akan ia ucapkan.

"Terimakasih sudah menerima tuan Earth sebagai adik anda"

Aku menyerngitkan alisku, bingung. Kenapa dia harus berterimakasih?.
Mulutku hendak bertanya maksud ucapannya, namun Earth tiba-tiba datang menghampiri kami.

"Phi!!!, ayo bermain bersama"

Mau tidak mau, akupun menyetujui ajakannya, dihari yang cerah itu, kami menghabiskan waktu bersama.

****

Hubungan kami berjalan baik untuk beberapa tahun setelah ke datangannya, kita seperti kakak adik pada umumnya, ditambah lagi, kesibukan orang tuaku yang membuat dia sangat bergantung padaku. Aku tidak merasa keberatan, karena kupikir memiliki adik manis sepertinya tidak buruk juga. Sampai suatu hari, aku melihatnya menangis ketakutan dipojok kamarnya.

"Kenapa kau menangis?"

Aku menatap bingung, Earth yang saat ini sedang menangis, mata yang biasanya dipenuhi binar keceriaan itu kini meredup. Bibirnya bergetar menahan tangis, namun lelehan air matanya tidak juga berhenti.

"Ada apa?"

Dia hanya menggeleng, kemudian menyembunyikan wajahnya di dalam lipatan lututnya. Tanganku tanpa sadar bergerak merengkuh tubuh kurusnya ke dalam pelukanku.

"Stt.. jangan takut, phi disini"

Tanganku terus mengusap punggung bergetarnya agar dia merasa tenang. Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti, apa yang membuat bocah ceria ini bergetar ketakutan.

"Ada apa?, apa yang sebenarnya terjadi?"

"Apa phi juga sama?"

Aku menatap dia bingung, 'sama'?, apa yang dia maksud dengan sama?.

Bocah itu sepertinya mengerti kebingunganku.

"Apa phi juga m-membunuh, sama seperti yang dilakukan ayah?"

Mataku membulat sempurna ketika mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. Tunggu, dari mana bocah ini mengetahuinya.

Aku menatap matanya tajam, "Sekarang jelaskan pada ku?, dari mana kamu tahu semua itu" tanyaku dingin.

Demi tuhan, apa ayah bodohku itu baru saja melakukan pembunuhan didepan bocah ini.

Srek srek

Aku menoleh ketika merasakan tubuh bocah itu menjauh, sialan. Tanpa sadar aku menunjukkan sosok asliku di depan bocah itu. Tidak, adik manisku tidak boleh takut padaku.

"Kenapa kau menjauh?, kau takut padaku?"

Anak itu menggelengkan kepalanya kencang, namun lagi dan lagi mata bulatnya mengeluarkan air mata. Sialan, jika seperti ini terus, kesabaranku akan habis.

"Terserahlah"

Aku berlalu pergi setelah membanting pintu kamarnya dengan keras.

Sejak saat itu mata yang biasanya menatap binar ke arahku, berganti dengan tatapan ketakutan yang sangat kubenci.

Dia akan selalu bersembunyi dariku, dan aku, tidak sedikitpun berminat untuk membujuknya.

Jika saja aku tahu, keacuhanku membuatnya membenci keluarga ini, aku tidak akan melakukan itu.

Aku bahkan tidak tahu, kapan tepatnya tatapan ketakutan itu, berubah menjadi tatapan benci. Tatapan yang siap membunuhku kapanpun dia mau. Dia seperti boom yang tinggal menunggu waktu untuk meledak.

Aku bahkan telah kehilangan adik manisku sejak lama, sejak awal dia tahu bahwa keluargaku bukan keluarga baik-baik. Dia menjauh, hingga titik dimana aku tidak bisa lagi menggapainya.

Ketakutannya, keresahannya, dan bahkan kebenciannya, membentuk Earth menjadi sosoknya dimasa ini. Sosok yang saat ini terkurung diruangan serba putih, menatap kosong ke depan. Sosok itu, adalah bocah kecil yang pernah menjadi seseorang yang sangat kusayangi dimasa lalu.

Seharusnya aku tahu, ada yang salah dengan adik manisku, aku terlalu acuh, hanya karena sakit hati setiap melihat tatapan takutnya kepadaku. Aku terlalu pengecut sebagai kakak, bukannya melindungi, aku malah bersikap abai pada seseorang yang dengan bangganya ku klaim sebagai adikku. Aku terlalu acuh, hingga menciptakan jarak yang beribu-ribu mil jauhnya.

Dan tanpa kusadari, keacuhanku berhasil membawa satu nama yang bertanggung jawab atas seluruh perbuatan buruk yang dilakukan oleh adik manisku.

"Lhong"


Patner In Crime❌ Love (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang