Pengalaman pertama sering kali terasa berkesan karena saat mengalaminya kita diterpa oleh emosi yang kuat. Saking berkesannya, bahkan setelah kejadian itu lewat bertahun-tahun yang lalu kita seakan masih bisa merasakannya tiap kali membayangkan kejadian itu.
Salah satu pengalaman pertama yang begitu melekat di ingatan Jeonghan adalah pengakuan cinta yang ia terima. Meski sudah dua puluh tiga tahun berlalu, tapi ia masih ingat letupan kecil kebahagiaan yang dirasakan oleh Jeonghan yang kala itu berusia tujuh tahun.
Hari itu, teman sebangkunya di sekolah—seorang gadis kecil yang gemar memakai pita pink dan ungu di rambutnya—memberikan sekantong permen sambil menyatakan perasaan dan meminta Jeonghan menjadi pacarnya. Itu adalah kali pertama Jeonghan mendengar ada orang yang menyayanginya.
Momen di mana anak perempuan itu menyodorkan permen dengan malu-malu dan bagaimana ia—dengan wajah memanas—menerima permen itu, semuanya tercetak jelas dalam ingatannya. Pengalaman pertama menerima pernyataan cinta, selalu membuat Jeonghan tersenyum geli. Apalagi kalau mengingat hubungan dengan pacar pertamanya hanya bertahan satu minggu.
Berbeda dengan pengalaman pertamanya yang manis dan lucu, pernyataan cinta yang ia dapatkan saat di bangku sekolah menengah terasa begitu membebani. Bagi Jeonghan remaja, cinta di kala itu hanya akan menghabiskan waktu. Lebih baik perhatiannya terfokus untuk mengejar beasiswa dan bekerja paruh waktu. Biarlah ia menahan dulu hormon remaja yang meletup-letup. Nanti saat sudah mampu berdiri di atas kakinya sendiri, barulah ia akan memulai hubungan yang bisa menghangatkan dan mengisi kekosongan hatinya.
Namun sayang, pengalaman pertamanya dalam menjalin hubungan yang serius dimulai tanpa pernyataan cinta. Waktu pertama kali Jeonghan bertemu dengan fated matenya, mereka bahkan merasa tak perlu ada pertukaran pernyataan cinta dalam bentuk kata-kata untuk meneguhkan ketertarikan di antara mereka. Keterikatan pheromone mereka seakan sudah menjadi bukti yang kuat kalau sudah seharusnya dua insan itu memiliki satu sama lain.
Memang agak disayangkan, apalagi mengingat kalau hubungannya berakhir tragis bahkan sebelum ia sempat merasakan date romantis dengan fated mate-nya. Mungkin itulah mengapa saat mencari pasangan berikutnya Jeonghan bersumpah kalau ia harus merasakan pengalaman pertama melakukan semua moment romantis bersama pasangannya.
Maka tak heran saat Jihwan membawanya ke restoran ternama saat kencan pertama mereka, Jeonghan bukan hanya merasa bahagia, tapi ia juga merasa bangga. Puncak kebanggaan yang Jeonghan rasakan terjadi saat Jihwan mempersiapkan banyak hal sebelum meminta Jeonghan menjadi pasangannya. Ia mengatur makan malam romantis di salah satu hotel bintang lima. Karpet merah dihiasi lilin dan taburan kelopak mawar di jalan menuju meja yang Jihwan pesan, pianis yang memainkan lagu favorit Jeonghan, dan 1000 tangkai bunga mawar merah yang Jihwan persembahkan untuknya. Momen romantis yang begitu mewah.
Namun setelah diingat-ingat, meski Jihwan mengatur banyak hal dan menunjukkan gesture romantis yang berlebihan, tapi saat itu sang beta tidak pernah mengucapkan kalau ia mencintai Jeonghan. Jihwan hanya meminta Jeonghan menjadi kekasihnya kemudian mencium bibirnya. Kegembiraan yang Jeonghan rasakan kala itu seolah mengesampingkan fakta penting ini.
Satu-satunya hal yang berarti kala itu adalah kebahagiaan karena akhirnya ada seseorang yang memilih untuk menyayangi dan berada bersamanya tanpa merasa itu adalah kewajiban atau sekadar dorongan primitif dari kondisi biologis mereka. Jeonghan merasa bangga karena berhasil mendapatkan Jihwan—yang saat itu terlihat begitu sempurna untuknya.
Berbanding terbalik dengan semua pengalaman yang telah ia lalui, apa yang Seungcheol lakukan terasa begitu asing. Pernyataan cinta Seungcheol tidak meletupkan hatinya dengan kebahagiaan seperti pengalaman pertamanya menerima pengakuan cinta.
Perasaan alami yang saling melengkapi tanpa banyak kata yang ia rasakan saat bersama fated matenya, juga tidak ia rasakan saat mendengar pernyataan cinta dari Seungcheol. Malahan saat mendengar perasaan sang alpha yang diutarakan dengan gamblang, Jeonghan merasa bingung. Tidak ada kepastian yang datang secara instan. Sebaliknya, Jeonghan malah dikelilingi oleh keraguan dan ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
One and Only
FanfictionImpian Jeonghan hanya satu, memiliki rumah yang hangat dan aman. Tapi kenapa susah sekali sih, menggapainya?