Glad To Be Back

366 100 8
                                    

Sekala menatap halaman belakang rumah yang masih tampak sama seperti empat tahun lalu sebelum ia meninggalkan rumah itu. Lapangan basket yang berada di sudut halaman pun masih terawat dengan baik walaupun tidak ada lagi yang menggunakannya.

Arus ingatan bercampur emosi membanjiri Sekala seketika. Lapangan basket itu membuatnya mengenang momen-momen masa kecilnya yang penuh keceriaan. Momen saat papanya mengajarinya main basket hingga Sekala bisa masuk ke dalam tim basket inti di sekolah SMA. Selain itu, papanya jugalah yang mengajarkan Sekala main sepeda, sepak bola, berenang, tenis, dan banyak kegiatan lainnya yang ia lakukan bersama papanya.

Semua orang tahu bagaimana kedekatan mereka sebagai ayah dan anak. Lionel yang sangat menyayangi Sekala seperti anak kandungnya sendiri, dan Sekala yang begitu memuja papanya hingga bercita-cita jika sudah besar ingin seperti papanya. Maka, ketika Sekala mengetahui kenyataan bahwa Papa Lionel bukanlah ayah kandungnya, Sekala bukan hanya kecewa, rasa sakit itu bahkan mampu membuatnya menghujam curam dan meluncur jatuh.

Kenyataan yang baru dihadapi olehnya, membuat Sekala semakin membenci laki-laki yang menjadi ayah biologisnya. Rasa benci yang sudah teramat dalam hingga mengakar di dalam hatinya. Terutama ketika Sekala mendengar fakta bahwa laki-laki itu hanya menjalani hukuman tiga tahun penjara dari vonis tujuh tahun. Entah apa yang laki-laki itu lakukan sehingga bisa mendapatkan keringanan hukuman dan bisa mendapat pembebasan bersyarat.

Begitu dalamnya rasa benci itu, hingga Sekala berharap ia tidak akan pernah bertemu dengan pria bernama Zaky Zayn Nadief. Sekala yakin dirinya tidak akan bisa menahan lonjakan emosi yang akan ia rasakan jika bertatap muka dengan laki-laki itu. Tidak peduli walaupun ada darah laki-laki itu yang mengalir di tubuhnya.

"Bang."

Lamunan Sekala terhenti saat mendengar suara mamanya.

"Ngapain ngelamun di sini? Makan, yuk? Ajak Citra makan juga."

"Memangnya Papa udah pulang?" tanya Sekala.

"Papa masih ada meeting, kayaknya pulang malam."

"Kalau gitu kita tunggu Papa aja."

Sea tidak lagi memaksa. Dia duduk di kursi rotan di samping Sekala dan sama-sama memandangi hujan yang sedang mengguyur daerah tempat tinggal mereka.

"Kangen lihatin hujan. Di Jakarta jarang hujan. Sekalinya hujan langsung banjir. Ngerepotin banget."

Sea spontan tertawa mendengar perkataan Sekala. "Enak mana, tinggal di Bandung atau Jakarta?"

"Bandung, lah. Jakarta sumpek. Polusinya udah parah banget. Bandung walaupun sumpek juga, seenggaknya banyak tempat buat ngadem."

"Padahal kamu itu lahirnya di Jakarta, Bang, tapi jiwa orang Sundanya kuat banget."

"Sunda pride, Ma," sahut Sekala sambil menepuk-nepuk dadanya. "Ring basket itu kenapa masih ada, Ma? Padahal dilepas aja. Nggak ada yang pakai juga, kan?"

"Papa yang minta lapangan basket itu tetap ada di situ."

"Kenapa?"

"Karena Papa yakin suatu saat kamu akan kembali ke rumah ini dan main basket di situ lagi."

Kemudian hening. Baik Sekala maupun Sea sama-sama terdiam. Batin Sea berkata anak lelakinya itu masih menciptakan jurang pemisah di antara mereka. Bahkan dalam jarak sedekat ini pun, Sea masih merasa jauh dengan anaknya sendiri.

Sea menyadari betapa bocah kecilnya telah tumbuh besar menjadi seorang laki-laki dewasa yang memiliki jalan hidup sendiri. Sekala sudah terbang dengan sayapnya, menuju tempat dan kehidupan yang ia pilih. Tidak dirinya atau siapa pun berhak menahan kepakan sayap-sayap itu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang