S.G 10

723 65 13
                                    

Demi apapun, bisa Sabito lihat aura "geram" dari mbak penjual ice cream tadi. Kalau diterawang, mungkin urat-urat kesal bisa keluar dari wajahnya. Tapi setelahnya tetap saja Giyu yang memakan ice cream dengan rasa janggal itu, tidak lupa ditemani dengan pancakenya.

Entah, mungkin ini adalah hiburan kecil untuk Sabito. Melihat Giyu makan sudah cukup membuatnya kenyang, bahkan ia tertawa sesekali. Anak itu tidak berhenti mengoceh, bahkan dengan mulut penuh sekalipun. Beruntungnya, ia tetap bersih dan tidak mengeluarkan remah remahan atau sisa makanan dari mulutnya yang terus-terusan berbicara.

Sabito bingung, apa memang semua orang begini sewaktu perut mengisi, atau cuma Giyu. Lihatlah, bahkan seorang dokter merasa heran dengan tingkah lakunya. Giyu tak henti-hentinya membicarakan texture, tampilan makanan yang ia makan, dan juga rasanya. Mungkin dia mantan chef, pikir Sabito. Kenyataannya, Suaminya adalah Chef. Walaupun terkesan angkuh, pria berbau mint itu jago memasak, hanya saja dirinya malas.

Pria berbadan tegap itu terkadang suka mengomentari masakan Giyu, tak lupa menghadiahinya kecupan di akhir, melupakan fakta bahwa masakan yang Giyu masak kebanyakan garam, atau bahkan gosong. Tapi entahlah, mungkin waktu menyapu perasaannya pergi.

"Kamu engga makan??" Tanya Giyu sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya.
"Engga, gua kenyang"

••••••••

Sudah kali keberapa badan tegap itu menghela nafas, merasa lelah. Semuanya membuatnya muak. Bahkan pergi ke tempat gelap dengan suara dentuman yang bising ini tidak lagi membuatnya tenang. Masih terpatri di akal sehatnya dulu ia sangat anti memegang gelas berisi bir ini. Bahkan untuk datang ke tempat ini pun tak pernah terlintas di kepalanya.

Tapi lihatlah, wajahnya yang linglung sudah mulai terpengaruh. Kiranya manusia ini telah menghabiskan tujuh botol lebih untuk konsumsi pribadi. Tidur sampai diusir bukan lagi hal yang memalukan, atau bahkan asing bagi dirinya.

Dunianya berputar, bahkan untuk melihat jam saja matanya sudah bingung. Pukul berapa ini? Semuanya terlihat berbayang-bayang.
"Brengsek, lo ga kangen Giyu?" Suara itu muncul entah darimana asalnya. Tapi bisa Sanemi pastikan, ia mengenali orang ini.

Sanemi tertawa kecil "Tau apa lo soal gua?" Pria asing itu duduk disamping Sanemi, terlihat bayang bayangnya memesan minuman baru. Sanemi mencoba melihat siapa pria itu, tapi demi apapun, rasanya pria di sisinya lagi beruntung. Kalau saja dirinya sedang dalam kondisi normal, mungkin satu bogeman sudah melayang cantik, tepat di pipinya.

••••••••

Sabito menutup pintu masuk pelan, tidak mau kehadirannya menganggu dua mahluk dalam satu itu terbangun dari tidurnya. Tapi belum juga menutup knop pintu, si gempal itu sudah berdiri di depannya, lengkap dengan tangannya yang terlipat di depan dada seolah meminta penjelasan darimana dirinya pergi. Padahal kalau di pikir-pikir itu bukanlah urusannya Giyu.
"Habis darimana?"

"Eee.. anu nyari angin" Sabito tertawa kecil sembari menggaruk lehernya kikuk.
"Kenapa bau alkohol?" Giyu mengelilingi badan Sabito, mengendusnya dari jauh. "Bau mint juga?" Kenapa baunya tak asing, pikir Giyu. Tapi dengan cepat ia menepisnya, merasa tidak penting baginya untuk mengetahui hal tersebut.

"I think u need to rest right now, Giyu. Ini udah malam, mending istirahat." Sabito mengusap rambut biru gelap itu pelan. Yang diminta demikian langsung badmood, wajahnya tertekuk jelek. "Kamu ga asik, aku padahal pengen main bareng" Giyu pergi ke kamar yang telah disediakan. Sabito memantau tubuh gempal depan itu dengan seksama, membuang pelan nafasnya pelan. 'Nyaris saja' pikirnya. Bau mint, iya. Itu bau khas Sanemi.

•••••••••••••

Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela berwarna merah, menganggu pengelihatan Sanemi yang tadinya tertutup rapat. Gila, kepalanya pusing parah. Berapa botol sudah ia habiskan tadi malam. Dimana ini? Ia terbangun di kamar yang disediakan oleh club. Ia mengucek matanya pelan, pandangan yang berbayang-bayang ini sungguh menyusahkan.

Badannya mencoba berdiri, linglung menguasai dirinya. Ia harus bertumpu pada dinding di sampingnya. Cuti, ia mengambil cuti. Siapa pria tadi malam yang berani berbicara tentang Giyu di hadapannya? Bajingan. Ia mencuci wajahnya, meraih handphonenya dan cabut dari sana kala dirinya mengetahui bahwa kamar ini telah dibayar.

Kakinya berjalan ke parkiran, mencari mobil biru dongker yang sempat menjadi saksi bisu kelakuan tak senonoh antara Giyu dan Sanemi. Ia mengendarai kendaraannya, menuju ke arah yang sempat ia jadikan "rumah".

Matanya menyipit, rumah bertingkat itu terlihat.. gelap? Tak berpenghuni? Kemana Giyu? Dengan terburu-buru Sanemi turun dari mobilnya, melangkah lebar kedalam, matanya bergerak liar.

"Tomioka!" Ia mengelilingi seisi rumah, peluh bercucuran dari keningnya. Tangannya meraih knop pintu kasar, sekilas hidungnya mencium aroma yang halus, lembut, entah kenapa hatinya terasa "kosong".

"Tomioka Giyu!" ia menunduk, mencari keberadaan dirinya yang mungkin saja bersembunyi di bawah kolong kasur. Tapi nihil, keberadaannya tidak ditemukan, hanya terdapat debu dan sarang laba-laba disana. Sanemi terduduk di pojok kasur, mengepalkan tangannya. Sebentar, matanya menyipit pelan, jejak sepatu pantofel siapa ini?

Giyu jelas tidak mempunyai sepatu pantofel, Giyu bilang bentuknya aneh terlalu formal dan mengkilap, seperti sepatu lama saja padahal memang iya. Lantas, ini sepatu siapa? Sanemi terbawa emosi dengan begitu cepat, merasa terkhianati. Jari-jari Sanemi bergerak meraih handphone yang berada di kantong celananya, menekan nomor yang sangat bisa diandalkan kala ia kesusahan.

"Carikan informasi dimana dia tinggal sekarang, Obanai."

••••••••

Giyu terbangun dari tidur lelapnya, merasa terganggu dengan bunyi-bunyi yang berasal dari luar kamarnya. Ia membuka pintu, mengamati sekitar, terlihat Sabito yang sudah lengkap dengan tag nama dan jas putih khas dokternya. Giyu memantau Sabito, pria itu sedang berkaca, merapihkan kemeranya sembari mengancingkan jas putihnya. "Bito mau kerja?"

"Iya, Yu. Ada Shift pagi hari ini, nanti kalau mau sarapan tinggal ambil ya, gua tadi masak." Sabito melirik Giyu dari pantulannya di cermin. Sekilas bibirnya tersenyum, rambut Giyu naik semua ke atas, seperti baru saja tersambar petir. Sabito menghadap ke belakang, meraih sisir yang ada diatas meja lalu menyisir pelan rambut Giyu. "Mandi sana, jangan kayak gembel. Jelek banget lo begini" dapat Giyu dengar sayup tawa Sabito yang mulai mengilang dari pandangannya. Kaki pria tinggi itu berjalan meninggalkannya,

"Giyu, gua pergi dulu. Kalau ada apa-apa telepon ya.." Setelahnya pintu depan rumah Sabito tertutup, menyisakan Giyu sendirian. Bosan, adalah hal yang langsung ia rasakan kala Sabito pergi. Ia menghela nafas, lalu meraih handphonenya.

Kepalanya berfikir liar, apa sebaiknya ia pergi saja keluar? seperti berbelanja ke super market? atau mungkin mencari beberapa makanan yang bisa meredakan kebosanannya? terdengar seperti hal yang menyenangkan, untuk sesaat.

Phew! Lihatlah, tiga puluh menit berikutnya Giyu sudah bersiap dengan baju kodok bawahan roknya. Terlihat lucu, rambut biru gelap itu dihiasi dengan jepitan berwarna kuning bergambar bebek? atau mungkin ayam, entahlah. Giyu berkaca, sedikit memutar dirinya agar rok jeans itu mengembang. Dirinya tersenyum, bukan hanya roknya yang mengembang, perutnya juga ikut mengembang.

Giyu meraih handphonenya dan tas kecil, siap pergi mengelilingi sekitar setelah beberapa lama berdiam diri di rumah. Kakinya melangkah keluar, senyumnya melebar, bersenandung pelan, tidak menyadari ada orang yang memantau dirinya dari jauh.

Sanemi giyuu are terribleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang