S.G 11

827 56 17
                                    

Giyu berkaca, sedikit memutar dirinya agar rok jeans itu mengembang. Dirinya tersenyum, bukan hanya roknya yang mengembang, perutnya juga ikut mengembang.

Giyu meraih handphonenya dan tas kecil, siap pergi mengelilingi sekitar setelah beberapa lama berdiam diri di rumah. Kakinya melangkah keluar, senyumnya melebar, bersenandung pelan, tidak menyadari ada orang yang memantau dirinya dari jauh.

••••••

Sanemi membolak-balikan tumpukan kertas sembari memijat keningnya. Matanya dengan jeli melihat kertas walaupun para hadirin rapat mengetahui bahwa pikirannya berada di tempat lain. Sedari tadi pagi dirinya hanya menunggu notifikasi handphone dari Obanai, tentu saja.

Rapat selesai tanpa kritik atau bahkan masukan dari Sanemi, ia langsung keluar begitu saja dan kembali ke kantornya dengan segera. Ia melipat kedua tangannya didepan wajah, menopang wajahnya disana sembari berfikir apa yang akan ia lakukan sewaktu ia akan menemui Giyu.

"Will he love me like the old days?"

Ia menghela nafas berat, hanya karna perusahaan yang hampir bangkrut, ia langsung menyingkirkan Giyu dari hidupnya, bahkan berlaku kasar. Sanemi beranjak dari kurisnya, meraih kunci mobilnya dan berjalan ke arah parkiran. Mungkin menemui Giyu dengan bunga dan coklat akan meredakan sedih di hatinya, setidaknya begitulah pemikiran Sanemi.

Mobilnya melaju kencang ke arah toko yang menjual bunga sekaligus coklat, jalan yang tidak asing baginya. Sudah berapa lama ia tidak melewati jalan ini? Mungkin.. sejak ia marahan dengan Giyu, sekitar nyaris sembilan bulan? Nyaris setahun, semuanya terlihat asing sekarang. Sekilas pikirannya terlintas pada ekspesi Giyu kala dirinya memberikan cokelat dan bunga hydrangea. Sanemi bingung kenapa ia memilih bunga itu semenjak awal mereka dekat, tapi ia merasa bunga biru yang dipilihnya ini terlihat.. cocok dengan Giyu.

••••••

Sinar matahari sore yang redup membuat wajah Giyu terlihat agak oranye di kameranya. Giyu melihat-lihat kearah sekitar, mencari kemana kekasihnya pergi, padahal ia ingat dengan jelas kalau tadi Sanemi berada tepat di samping dirinya. Giyu memutar matanya malas, kembali memfokuskan dirinya ke arah ombak pantai yang menghantam permukaan batu dan pasir. Bunyi gemericiknya cukup menenagnkan, angin pantai memainkan rambutnya lembut. Kepalanya menoleh kala ia merasa ada seseorang disampingnya.

Sanemi, telah balik. Pria itu tertawa canggung sembari menggaruk tengguknya yang tak gatal "Maaf, tadi habis kesana" Giyu mengangguk pelan tanda mengerti. "Tapi kamu jangan tinggalin aku begitu dong." Sanemi hanya mengendikan bahu lalu menarik tangan kirinya yang sedaritadi berada tepat dibelakang punggungnya. Nampak bunga dengan warna biru yang menawan, hydrangea, mata Giyu berbinar-binar melihatnya. Seketika itu, Giyu memeluknya erat, mencium pipinya. Sanemi memegang tangan Giyu dan memindahkan buket bunga itu ke tangannya.

Tangan kekar penuh luka itu memetik salah satu bunga yang paling menawan dari buket yang dipegang Giyu. Tangannya terangkat, merapihkan rambut giyu dan menyelipkannya dibalik telinga. Sekilas matanya menatap dalam iris mata biru di hadapannya sebelum menyisipkan bunga itu ke rambut Giyu. Menawan, cantik, manis.. Sanemi terpukau."You looks so good with those flowers, Giyu"

"Kamu terlihat sangat cantik dengan bunga-bunga itu, Giyu"

Sunset di pantai itu kemudian ditutup dengan ciuman antar kedua insan yang sedang jatuh cinta, melupakan bahwa keduanya tengah berada di depan publik.

••••••

Handphonenya bergetar, pesan masuk dari kontaknya bernama "Obanai", terlihat foto kedua orang dari arah belakang tengah memasuki rumah bertingkat yang tentunya tak asing bagi Sanemi. Sabito, teman semasa sekolah menengah pertamanya. Apa yang sebenarnya terjadi antara Giyu dan Sabito? Kakinya melangkah cepat kembali ke mobil, mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Bagaimana bisa di foto itu terlihat jelas Sabito merangkul Giyu. Setahu Sanemi, ia telah memperingatkan Sabito tentang hal ini sejak masa SMA. Dan sekarang? keparat itu balik, mencoba mengambil apa yang sudah jelas menjadi miliknya.

••••••

"Yu? Lo gapapa? Kalau kecapean gausah di lanjut. Harusnya tadi kalau mau belanja telepon gua biar gua temenin." Sabito mendudukan Giyu di atas tempat tidurnya, menarik selimut Giyu dan memintanya untuk beristirahat. Mendengar ucapan Sabito, Giyu menggeleng pelan, ia tidak bermaksud untuk merepotkan Sabito dengan begini. "Bito, maaf ya udah ngerepotin.."

Sabito tersenyum lalu mengangguk pelan "Not a problem, Little One. Sekarang tidur gih.." Sabito lalu keluar dari kamar Giyu, kakinya berjalan untuk membereskan belanjaan Giyu yang cukup banyak. Dirinya paham Giyu berusaha agar dirinya tidak perlu repot-repot pergi membelikan barang yang diperlukan oleh Giyu, makanya anak itu mencoba membeli perlengkapannya sendiri.

Sabito mengatur barang-barang itu sesuai dengan tempatnya, bisa ia lihat Giyu sudah membeli baju bayi berwarna biru. Tentu saja, anaknya laki-laki, tinggal menghitung minggu anak itu akan keluar. Entahlah, Sabito juga bingung. Akankah anak ini lahir tanpa seorang ayah di sampingnya? Maksudnya, bisakah kalian bayangkan saat kalian lahir yang hadir malah teman ayah kalian dan bukan ayah kalian sendiri? That's sad.

Gerakan Sabito terhenti kala telinganya mendengar ketukan pintu dari luar, semalam ini? siapa yang akan mengetuk pintu rumahnya? Aneh. Ketukan itu kembali berbunyi, seolah memaksa Sabito untuk membukanya dengan cepat, alisnya mengkerut. Dirinya berjalan ke arah pintu dan membukanya. Pria penuh luka itu.. kembali ia lihat setelah beberapa hari kejadian di bar. Sahabat lamanya? Mungkin bisa dikatakan begitu, tapi sirat matanya tak demikian. Sabito memiringkan kepalanya "Hey, lama-"

Bughh!

Sabito terlempar kebelakang, darah segar mengalir dari hidungnya. Mungkin patah, percayalah hal ini sudah terjadi tepat saat mereka SMA dan penyebabnya adalah hal yang sama. Giyu. Sanemi menutup pintu rumah Sabito, kakinya melangkah mendekati Sabito yang tersungkur di lantai. "What the heck is wrong with you, Sanemi!" Sabito menyeka darah yang terus mengalir dari hidungnya.

"Ada masalah apa sama gua? Harusnya gua yang nanya itu, Sabito!" Sanemi menarik kerah kemeja putih Sabito. Iris mata Sanemi seolah-olah merasuk kedalam dirinya. "Why on this earth you would take Giyu with you?!" Sanemi mengencangkan suaranya tepat di depan wajah Sabito. "Gua ga pernah bawa dia sama gua. You're the one who's left him alone!"

Sanemi melepaskan kerah Sabito dari genggamannya, membuat pria bersurai oranye itu terjatuh ke lantai. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, yang lain tak lain adalah Giyu. "Giyu! Masuk ke kamar!" Teriak Sabito. Sanemi menendang kasar Sabito, membiarkan pria itu dan menoleh ke asal suara. Dirinya tak sedikitpun beranjak, tak sedikit pula merasa terganggu dengan batuk yang dikeluarkan dari Sabito.

Kaki kecil itu melangkah pelan, ketakutan. Dirinya bersembunyi di balik dinding sebelum melihat Sanemi setelah beberapa bulan lamanya. Akhirnya ia memberanikan diri, matanya menangkap dengan jelas Sabito terkapar, darah bercucuran deras dari hidungnya. Sanemi tersenyum, lalu dalam titik itu juga senyumnya padam, digantikan dengan amarahnya yang semakin memuncak kala melihat perut yang awalnya rata itu sudah mengembang. Bisa ia pastikan, sedikiti lagi bayi itu akan lahir.

Ia benar-benar tak menduga kalau Giyu hamil, masih ia ingat tubuh itu tak terisi sebelumnya. Di foto yang Obanai kirim, Giyu tak terlihat seperti orang hamil, dapat dipastikan itu karena sudut yang Obanai ambil dari belakang, perut besar itu pasti tidak terlihat.

Sanemi berbalik badan kembali menarik Sabito yang sudah di ambang batasnya, menonjok perut bahkan wajahnya dengan brutal, melupakan fakta bahwa keduanya adalah sahabat. "SABITO!!!" Giyu panik, dengan cepat ia mendekati Sanemi dan berusaha melerai keduanya. Dari pandangannya, tak sedikitpun Sabito melakukan pembalasan. Terlihat dari badan Sanemi yang baik-baik saja. Sabito kemudian bangkit dan melawan Sanemi, Sahabatnya, telah berubah.

"KENAPA LO HAMILIN PUNYA ORANG BAJINGAN!" Salah paham, semuanya salah paham. Giyu memegang lengan Sanemi, menariknya kencang. Walau sayang tenagannya tak ada apa-apa ketimbang Sanemi dan badannya yang besar itu. "Sane! Kamu salah paham!" Sanemi mendaratkan satu tonjokan ke arah Sabito, tapi sebelum hal itu terjadi ia malah tak sengaja mendorong Giyu ke belakang. Keduanya terhenti, Giyu terhuyung dan jatuh terduduk. Terlihat air ketuban sudah pecah.

"BAJINGAN! TELEPON AMBULANS!!" Teriak Sabito.

Sanemi giyuu are terribleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang