"Yaudahlah kalo gitu, gak bakal lagi aing buka jastip keliling Bandung-Nangor malem-malem cuma buat nyariin hotwheels inceran maneh ya anjing!"
"Najis bocah pundangan!"
"Bodo amat! Di blacklist maraneh dari Jangkrik Jualan!"
Logat Sunda Bandung yang begitu kental itu menarik perhatian Winona Andianata yang sedang menikmati sepiring nasi cumi dengan segelas lemon tea di kantin. Bukan hanya karena itu yang menarik perhatian, tapi suara keras dari cowok itu yang hampir membuat seluruh pasang mata di kantin tertuju padanya. Begitu juga Winnie yang sedang menatap lekat punggung laki-laki yang sedang mengeluarkan amarah pada teman-temannya.
Tidak tahu awal pertengkaran—tidak sama sekali. Ini tidak terdengar seperti pertengkaran, malah terdengar seperti rajukan. Anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya.
"Ngomong sama maraneh mah menguras tenaga, aing mending open pre-order keliling!" ujar laki-laki itu lalu beranjak dari kursi dengan dua lembar kertas dan handphone.
Winnie menoleh ketika teman di sebelahnya—Phoni berujar, "Si Jangkrik dari SMA gak berubah."
"Kenal?"
"Pernah satu sekolah," jawab Phoni yang masih menikmati soto betawinya.
"Dia tuh jualan apasih sebenernya?" Syara yang duduk di depan Phoni bertanya.
Phoni menghentikan kegiatan tangannya yang sedang mengaduk es jeruk dengan sedotan. "Gak tau gue juga bingung, tapi dia apa aja ada. Kadang juga bisa PO, jastip, jual beli, preloved." Tiga tahun di sekolah yang sama dan satu tahun di kampus yang sama pun tidak bisa membuat Phoni mengerti dengan bisnis cowok itu. "Tapi minusnya dia jualannya sesuai mood," sambungnya.
Mendengar itu membuat Winnie kembali menaruh perhatian pada cowok itu lagi. Mata Winnie menyipit dengan kening berkerut ketika melihat wajah laki-laki yang sedang mempromosikan jualannya ke setiap orang yang duduk di meja kantin. Winnie tidak pernah bertemu dengan cowok itu sebelumnya. Mau itu saat di kampus Jatinangor ataupun saat semester tiga ini mereka pindah ke kampus Ganesha. Ini pertama kalinya Winnie melihatnya.
"Ayo beli jualan gue dijamin gak mengecewakan!"
"Enak gak nih?"
"Enak, kalo gak enak kereut yeuh ceuli aing!"
Jantung Winnie langsung berdetak kencang saat melihat wajah lelaki itu yang semakin jelas. Suara berisik kantin pun sudah tidak bisa Winnie dengar. Badannya lemas total, matanya memancarkan sorot tak percaya dan keringat dingin pun mulai membasahi. Apalagi saat cowok itu berjalan ke arah mejanya.
"Halo, Little Phoni and Friends!"
Rasanya Winnie tidak bisa bernapas dengan benar ketika laki-laki itu berada tepat di depannya. Menyapa dengan wajah yang begitu familiar di otak Winnie. Persis. Wajah itu sama persis. Winnie diam, mulutnya seperti terkunci rapat hingga tidak bisa mengeluarkan satu patah katapun.
Winnie mengerjapkan mata, memastikan bahwa pandangannya tidak salah. Namun penglihatannya tidak berubah, laki-laki itu tetap berdiri di sana dengan raut wajah tulus yang sekarang tergantikan dengan raut bingung saat laki-laki itu mulai berbicara dengan Winnie.
Hati Winnie mulai berkata;
Is this my lost art...? or a duplicate of my lost art?
But whatever,
My lost art, I finally found you again.
To be continued...
☆☆☆
UNTUK INFO UPDATE BISA FOLLOW:
Instagram:
@anishaty
@tulisanshasacaci
UNTUK KONTEN LAINNYA BISA FOLLOW:
Tiktok: @shasacaci
Spotify: @shasacaci
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Art
Teen FictionSaat berumur 7 tahun, Winnie pernah kehilangan lukisan yang baru beberapa hari lalu ia lukis. Namun, lima tahun kemudian, Winnie menemukan lukisannya yang dulu sempat hilang. Tapi tidak berlangsung lama, karena saat berumur 15 tahun Winnie kembali k...