Bab 3

271 43 7
                                    

Getaran ponsel membangunkan Irene yang masih terlelap di peraduannya. Wanita dengan posisi tengkurap itu berusaha mengarahkan tangannya sembarangan, berharap bisa menemukan ponsel yang mengganggu tidurnya pagi itu.

Helaan napas kesal meluncur bebas darinya saat tidak bisa menemukan ponselnya, membuatnya terpaksa membuka mata.

Alarm. Ya, hanya sebuah alarm, bukan panggilan darurat atau apapun lah itu namanya. Dengan desahan lelah, wanita itu merubah posisi tubuhnya; dari tengkurap menjadi terlentang.

Matanya terasa berat untuk terbuka.

Pasti sembab.

Gumamnya pada diri sendiri.

Masih jelas di ingatan bagaimana semalam dia tidur bahkan tanpa berganti pakaian. Kantuk menyerang saat tubuhnya sudah benar-benar lelah setelah tangisnya pecah.

Irene kembali mendesah pelan. Dengan langkah lesu, gadis itu berusaha beranjak dari pembaringan. Langkah kakinya mendekat ke arah pintu; ditariknya kenop pintu kamar, membuat indra penciumannya disambut dengan aroma masakan yang berhasil menggugah rasa laparnya.

Entah siapa yang melakukannya, yang jelas bukan sang ibu. Dulu, sang kakak yang biasa melakukan hal ini di apartemennya, tetapi sekarang sudah pasti bukan mendiang yang melakukannya.

Irene mempercepat langkah kakinya. Satu per satu anak tangga dia turuni; kemeja yang sudah kusut dengan rambut yang dia biarkan berantakan benar-benar memperjelas situasinya yang baru saja beranjak dari pembaringan.

"Dhan?" Ucapnya terkejut.

Lelaki dengan senyuman manis, manik mata hitam yang tertutup kacamata dengan potongan rambut rapi tampak merespon panggilan Irene. Lelaki itu menoleh sebentar seraya tersenyum.

"Sembab banget itu mata? Ciuman sama tawon semalam?" Godanya dengan ekspresi tengil, berusaha memperbaiki suasana hati sahabatnya sebelum kembali berkutat dengan masakannya.

"Ngapain disini pagi-pagi?"

"Ya habisnya di telepon gak bisa. Setengah jam aku bunyiin bel kamu gak keluar." Keluhnya dengan nada kesal yang bahkan ujung bibirnya dia majukan, membuat lelaki itu terlihat menggemaskan di mata Irene.

"Maaf." Sesalnya dengan suara lirih. Ditariknya satu kursi yang berada di meja makan. Tangannya meraih sebuah sumpit; menggelung rambutnya asal sebelum menguncinya dengan sumpit, beberapa anak rambut yang tidak bisa tergapai dia biarkan terjatuh di sisi kiri dan kanan wajahnya.

"Sarapan apa hari ini?" Tanyanya begitu Dhana mengangkat piring di masing-masing tangannya.

"Western." Ucapnya jumawa bersamaan dengan piring yang dia sajikan di masing-masing sisi, sisi kursi Irene dan sisi kursi yang akan dia tempati.

"Kopinya mana?"

"Ngelunjak nih anak." Omel Dhana yang disambut kekehan oleh Irene. Lelaki itu bergegas kembali ke dapur, mengambil dua cangkir dengan motif teratai.

"Gak ada kopi di rumahmu,-" jedanya seraya meletakkan cangkir di hadapan Irene. "-teh aja. Sama-sama ada kandungan kafeinnya." Lanjutnya seraya duduk tepat di depan Irene.

Irene mendengus pelan saat mendengar celotehan Dhana.

"Gak mau cuci muka apa sikat gigi dulu gitu?" Protes Dhana kemudian saat Irene menyesap teh hangat yang disajikan Dhana.

"tckkkk..." Decihnya dengan tatapan protes.

"Ya udah iya. Makan deh." Celetuk Dhana, berhasil membuat dua sudut bibir Irene tertarik ke atas dengan tatapan berbinar di balik mata sembabnya.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang