Bab 17

351 64 16
                                    

Kejutan selalu menjadi hal yang menyenangkan untuk sebagian orang, begitu juga dengan Alexandra dan Ancala.

Dua wanita itu membelalakkan mata; senyuman dan lirikan mata mereka kepada satu sama lain menjelaskan semuanya.

Angger yang berjalan di belakang Irene dengan membawa satu ransel besar di pundaknya tampak santai walaupun ia tahu banyak pasang mata yang berfokus pada mereka.

Ancala dengan senyuman penuh arti menundukkan kepalanya pelan, seolah menyapa Irene yang baru saja berdiri di hadapannya.

"Selamat pagi presdir." Sapanya ramah. Pandangannya beralih ke Angger yang berdiri di belakang Irene. "Selamat pagi pak Angger."

"Pagi bu Ancala." Jawab Angger sopan. "Pagi dokter Alexandra." Ucapnya canggung walaupun ini bukan pertama kalinya Angger bertemu dengan Alexandra.

"Pagi pak Angger." Jawab Alexandra ramah.

Alexandra mengalihkan pandangannya ke arah Irene, dua orang itu saling bertatap seolah sedang berkomunikasi melalui telepati tentang alasan keikutsertaan sosok yang bernama Angger.

"Rene, aku tinggal beli kopi dulu ya?" Angger memecah keheningan di antara mereka berempat.

"Ranselnya taruh sini aja mas."

"Aku bawa aja."

Angger berpamitan kepada Ancala dan Alexandra sebelum meninggalkan 3 wanita yang masih berdiri di tempatnya itu.

"Kok dia bisa ikut?" Telisik Alexandra penuh rasa ingin tahu begitu Angger memasuki lobby rumah sakit.

Irene mengangkat kedua pundaknya. "Ya kan katanya ajak keluarga, masa dia gak boleh ikut?"

"Bukan itu Rene maksudku." Ujar Alexandra frustasi. "Bukannya bulan lalu kamu bilang dia gak bisa ikut? Mana kamunya kaya kesel gitu pas bilang dia gak bisa ikut. Kamu paksa ya?"

Irene menatap malas ke arah Alexandra. "Seorang Irene? Maksa cowok? Jangan gila Al." Ujarnya jumawa yang entah kenapa hanya mendapat respon tawa pelan dari Ancala, bahkan wanita itu tidak mendapat olokan karena ucapannya.

Siapa juga yang akan mengolok pernyataan Irene barusan kalau semua yang di katakannya memanglah fakta. Irene benar-benar tidak pernah mengemis perhatian dari lelaki manapun karena hampir sebagian besar lelaki akan terpikat pada wanita cantik itu.

"Dhana tuh." Celetuk Alexandra seraya menunjuk dengan kepalanya.

Irene menghela napas pelan sebelum merasa ada seseorang yang berdiri tepat di sampingnya.

"Hai Rene."

Irene menoleh. "Hai Dhan." Ucapnya ramah. Kali ini, Irene akan sedikit menipiskan dinding tebal di antara mereka berdua, setidaknya selama family gathering.

Dhana melihat ke sekitar Irene, seolah sedang mencari sesuatu.

"Nyari apa Dhan?" Tanya Alexandra penasaran.

"Irene gak bawa apa-apa?" Dhana mengedarkan pandangan ke arah Irene sebelum beralih ke Alexandra lalu Ancala.

"Bawa lah, kan nginep." Timpal Irene cepat.

"Terus mana? Udah di bis?"

"Saya yang bawa." Sebuah suara berat berhasil mengganggu percakapan empat orang yang sedang berada di depan lobby. Semua mata beralih ke arah suara; Angger sedang berjalan dengan membawa masing-masing dua gelas kopi di tangan kanan dan kirinya.

"Pak Angger ikut?" Tanyanya dengan nada tidak suka.

"Kenapa? Ada masalah? Saya suami Irene, jadi ya wajar kan kalau ikut family gathering?" Jawabnya dengan nada tidak suka yang mendapat respon tatapan tidak suka dari sang lawan bicara, Dhana.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang