Bab 25

392 69 18
                                    

"Presdir memanggil saya?"

Irene mengangkat pandangannya. Wanita itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan Ancala.

"Tolong urus berkas perceraian saya."

"Presdir..."

"Ca!" Sela Irene tegas, membuat Ancala terdiam saat dia sadar Irene sedang tidak main-main dengan ucapannya.

"Tolong urus perceraian saya, jangan sampai terendus media." Irene mengulangi perintahnya dengan sangat jelas.

"Tapi anda masih memiliki dua bulan lagi presdir." Bujuk Ancala dengan nada rendah.

"Sekarang atau dua bulan lagi gak ada bedanya Ca, kami juga akan tetap berpisah. Minta tolong cari orang untuk merapikan apartemen, mulai malam ini aku mau pulang ke apartemen."

Ancala tidak bisa lagi mendebat kemauan Irene. Wanita itu hanya menatap iba sosok presdir yang sedang berkutat dengan tumpukan berkas di hadapannya.

"Ada tuntutan?" Ancala memilih mengalah.

Irene menggeleng. "Aku hanya ingin berpisah. Aku ingin hidup bebas tanpa tekanan dari siapapun."

"Kalau orang tua anda tahu?"

"Aku sudah siap mengatasi semuanya. Jadi lakukan saja perintahku."

Tatapan Ancala beradu tepat dengan manik mata Irene. Wanita yang duduk di balik kursi kerjanya itu benar-benar serius dengan ucapannya. Tidak ada sedikitpun keraguan disana. Entah apa yang terjadi hingga Irene benar-benar berada di titik yakin untuk berpisah.

Seperginya Ancala, Irene mendesah lemah. Ujung matanya menangkap foto dirinya dan Analla yang dia tata di meja kerjanya, memperlihatkan saat mereka mengunjungi pantai berdua, tempat yang sangat disukai Analla walaupun Irene lebih suka mendaki gunung.

"Mba, Irene sudah melaksanakan permintaan terakhir mu, sekarang aku mau hidup untuk diriku sendiri. Tugasku menjaga mas Angger sudah selesai." Ucapnya yang ia akhiri dengan helaan napas.

*****

Irene yang baru keluar dari ruang operasi sempat terdiam sepersekian detik saat melihat Angger bersandar tepat di depan pintu kamar operasi.

"Ngapain mas?" Tanyanya ketus.

"Mas mau bicara tentang ini." Angger mengangkat lembaran di tangan kanannya. Irene tahu benar apa itu, formulir perceraian.

"Kita bicara di ruanganku."

Irene membawa Angger ke ruangannya. Dia hanya tidak ingin perdebatannya dengan Angger menjadi konsumsi publik, apalagi di rumah sakit.

"Mas mau bicara apa?" Tanyanya begitu menutup pintu ruangan.

"Kenapa sudah ada formulir perceraian di meja kerjaku hari ini? Tiga hari terakhir selama aku di luar kota, ternyata kamu juga gak pulang ke rumah kan? Kamu kemana?"

"Apartemen." Jawab Irene dingin. "Surat itu, kenapa mas kaget? Bukannya dari awal kita memang menikah untuk berpisah?"

"Kamu sebenci itu ya Rene sama mas? Kita masih punya waktu dua bulan tapi kamu urus semuanya sekarang."

"Apa bedanya sekarang dan dua bulan lagi? Kita tetap bakalan pisah kok." Elaknya seraya melewati Angger; menuju ke arah sofa yang biasa menjadi tempat Irene menjamu tamu di ruangannya.

"Rene, kamu beneran gak punya rasa apapun buat mas?" Tanyanya seraya menoleh.

"Nggak." Jawabnya dingin.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang