Bab 34

182 66 19
                                    

Benar apa kata orang, jangan merusak suasana hati seseorang saat akan makan atau saat bangun tidur karena akan susah sekali untuk meredakan emosinya.

Kurang lebih seperti itulah yang sekarang dirasakan Angger. Lelaki itu tampak diam di kursi yang berada di emperan rumah; tatapannya menatap lurus ke arah jalanan yang diterangi bias lampu jalan. Tampak beberapa kali lelaki itu berteriak saat harus menyahuti sapaan tetangga ataupun para penjual makanan yang masih berlalu lalang di depan rumahnya.

"Ngger?"

"Ya buk?" Jawabnya seraya menoleh ke arah suara. Wanita yang membawa sebuah cangkir di tangannya itu mengambil satu tempat kosong di kursi yang berada di emperan rumah.

"Buat kamu." Ucap sang ibu seraya menyerahkan cangkir dengan asap yang masih mengepul kepada Angger.

"Susu buk?" Tanyanya seraya menerima pemberian sang ibu.

"Wedang jahe. Biar anget."

Angger tersenyum tipis. "Terimakasih." Ucapnya singkat sebelum meniup bagian sisi cangkirnya.

"Ngger, kamu berantem sama Irene?" Tanya sang ibu dengan nada tenang.

"Nggak buk." Ujarnya tanpa berani menoleh ke arah ibunya. Lelaki itu masih berfokus menyesap isi dari cangkir yang ada di genggamannya.

"Tadi waktu makan malam kalian diem-dieman? Kenapa? Irene gak nyaman ya mas di rumah? Kalau gak nyaman kalian ke hotel aja gak papa."

"Bukan buk." Sela Angger cepat. "Bukan itu masalahnya." Lanjutnya seraya meletakkan cangkir di meja yang menjadi pembatas antara dirinya dan sang ibu.

"Irene nyaman banget disini. Kayanya kalau boleh gak pulang, dia bakalan milih gak pulang." Angger menjelaskan dengan nada yang seolah keberatan kalau sampai sang istri enggan pulang.

"Terus kenapa?"

Angger menghela napas pelan. "Gak papa buk. Cuma salah paham aja." Ujarnya berbohong. Angger merasa tidak perlu menceritakan alasan kemarahan sang istri hari ini.

"Mas, kalau ada masalah itu usahakan selesai sebelum tidur. Kasihan istrimu tidur posisi masih marah gitu."

"Gimana mau nyelesaiin buk kalau dia aja cuek banget di ajak ngomong."

Ibu hanya tertawa pelan mendengar keresahan putra sulungnya.

"Kok ketawa buk?" Protes Angger tidak terima.

"Mas mas, namanya orang marah ya gitu,-" Ujar sang ibu seraya terkekeh. ",- lagian ya mas, perempuan itu memang mintanya dibujuk mas. Kan kamu juga bukan baru pertama berumah tangga, masa kaya gitu masih harus dikasih tahu?"

"Ya tapi Analla gak pernah debat Angger buk. Irene dari awal nikah tuh semua omongan Angger di debat sama dia." Jelas Angger dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah kesal.

"Mas, mendiang dan Irene itu berbeda." Jelas sang ibu dengan nada rendah.

"Mendiang itu tipe yang halus, kalem, karena memang semasa hidupnya semua orang fokus ke dia mas, jadi ya dia gak masalah kalau harus nurut ke kamu sepenuhnya, beda sama Irene mas. Dia gak pernah punya orang untuk dia jadikan sandaran. Satu-satunya sandarannya dia ya dirinya sendiri mas, jadi ya jangan heran kalau kamu harus bisa ngasih pengertian lebih."

"Ya tapi apa salahnya sih bu dengerin penjelasan Angger. Irene gak bisa bu kaya gitu, sekali Angger buat kesalahan pasti di diemin kaya gini."

"Mas, ibarat di medan perang, Irene itu sudah seperti jenderal perang. Dia terbiasa memimpin banyak orang mas, bahkan mau gak mau semua tanggung jawab harus dia taruh di pundak dia sendiri. Kamu tahu gak laki-laki seperti apa yang bisa meluluhkan wanita sehebat Irene?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 40 minutes ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang