Bab 13

281 55 13
                                    

Bagi sebagian orang, hidup adalah pilihan. Tetapi bagi sebagian orang lainnya, hidup adalah menjalankan semua yang sudah digariskan.

Bagi Irene? Bagi Irene hidup adalah melepas semua mimpi demi mewujudkan keinginan orang tuanya. Keinginan yang harus selalu dia wujudkan karena sekarang hanya dia tumpuan keluarganya, setidaknya tumpuan untuk mewujudkan impian-impian orang tuanya walaupun sering kali tidak sama dengan impiannya sendiri.

Irene menghela napas. Tangannya bertumpu pada sisi kanan dan kiri wastafel kamar mandi. Tatapannya menatap iba dirinya sendiri yang berada dalam pantulan cermin.

"Capek ya Rene?" Ujarnya pada sosok dirinya sendiri dalam pantulan cermin. Helaan napas terus meluncur bebas dari bibirnya dengan tatapan nanar yang beradu dengan dirinya sendiri dalam pantulan cermin.

Irene melangkah meninggalkan kamar mandi. Tatapannya ia edarkan ke deretan almari kaca yang berada di ruang ganti kamarnya. Pilihannya ia jatuhkan pada kemeja putih gading dan celana bahan berwarna navy, tentu saja blazer berwarna senada dengan celana yang ia pakai akan melengkapi penampilannya hari itu.

Irene dalam balutan modis hanya bisa dilihat saat pagi ketika dia baru datang dan sore atau malam hari saat dia pulang. Tidak ada harapan akan melihat Irene dalam balutan pakaian modis disaat jam kerjanya sebagai dokter, wanita itu lebih senang mengenakan seragam scrub lengkap dengan sneli miliknya. Tidak ada high heels yang akan menghiasi kaki cantiknya ketika jam kerja, sepatu sport kesayangannyalah yang akan menemaninya berlarian saat panggilan code blue menggema di lorong rumah sakit.

Irene yang baru keluar dari ruang ganti melirik sekilas selimut yang menutupi tubuhnya semalaman di ruang kerja. Tidak perlu dipertanyakan siapa yang memberikan selimut untuknya, jawabannya sudah pasti Angger.

Dia tahu lelaki itu baik, kalau tidak baik dia tidak akan memberikan restu sang mendiang kakak untuk menikahinya. Tetapi menjadi orang baik bukan berarti menjadi orang yang diinginkan, setidaknya itu yang ada di pikiran Irene.

Irene menuruni anak tangga dengan blazer dalam genggaman tangan kirinya.

"Sarapan Rene?"

Irene tersenyum. Tipis. "Terimakasih. Tapi gak usah mas."

Langkah kakinya kembali terdengar saat suasana di sekitar mereka berdua kembali hening.

"Maaf kemarin aku pulang malam. Aku ke makamnya Analla, awalnya cuma niat sebentar tapi gak tak kalau bakalan selama itu."

"Nggak papa. Lagian di rumah kamu juga gak punya temen ngobrol kan mas?"

Angger diam saat tatapan Irene di arahkan lurus padanya. Entah kenapa setiap kali Irene menyebut nama Analla, sorot matanya tidak menggambarkan kesedihan karena kehilangan, tetapi rasa sakit hati yang mencoba ia tutupi dari dunia.

"Kamu tuh benci banget ya Rene sama Analla?"

Irene yang sedang duduk di sofa ruang tamu diam untuk sepersekian detik sebelum kembali melanjutkan aktivitas mendorong kakinya masuk ke dalam high heels yang akan ia gunakan pagi itu. Wanita itu mengangkat pandangannya, membuat tatapannya beradu dengan lelaki yang berdiri di depan meja bar dapur.

"Maksudnya?"

"Ya tiap kali aku bahas Analla, sorot mata kamu tuh berubah jadi benci."

Irene menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak mengerti. Tatapannya bingung, matanya menyipit; seolah menjelaskan kebingungannya dengan pertanyaan Angger.

"Semua yang dilakukan papa dan mama ke aku gak akan pernah bisa jadi alasan buat aku membenci mba Nalla." Ucapnya tegas.

"Kalau mas Angger memang melihat itu dari mataku, berarti mas Angger yang gak bisa bedain mana tatapan benci, mana tatapan menyesal karena gak bisa menyelamatkan orang yang aku sayangi." Lanjutnya dengan penekanan disetiap kata yang seolah menjadi tamparan keras untuk Angger pagi itu.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang