Bab 9

279 46 10
                                    

Irene  terbangun setelah mendengar ketukan pintu ruangannya. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Dengan suara parau dan serak, Irene memberikan izin seseorang dari arah luar untuk masuk ke dalam ruangannya.

"Apa saya menganggu anda direktur?" Ancala bertanya dengan ekspresi bersalah, sedangkan sang empunya ruangan hanya menggeleng dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.

"Jam berapa Ca?"

Ancala melirik jam di tangan kanannya. "7.15 presdir."

Mendengar jawaban Ancala, Irene segera bangun dari posisinya. "Mas Angger sudah selesai operasi dong?" Tanyanya panik saat sadar dia sudah tertidur hampir 5 jam.

"Direktur tidak perlu panik. Pak Angger sudah di ruangan dari jam 2 pagi. Saya sengaja tidak membangunkan anda karena kata pak Angger anda pasti lelah." Ancala coba menjelaskan situasinya guna menenangkan sang Presdir.

Helaan napas lega meluncur bebas dari bibir Irene.  Wanita itu tampak kembali menyandarkan tubuhnya lemah di atas sofa.

"Terus kalian berdua tidur dimana semalam?"

"Pak Adipati di sofa ruang rawat inap pak Angger, saya di mobil." Ancala membuka suara seraya tersenyum tipis.

"Kenapa gak tidur disini aja sih Ca?" Tanyanya seraya mengikat asal rambutnya ke atas, menyisakan anak rambut yang ia biarkan berjatuhan di sisi kanan dan kiri wajah cantiknya.

"Sejak pagi anda sudah berdiri di kamar operasi direktur, jadi saya rasa anda pasti butuh istirahat." Jelasnya pelan, berusaha agar tidak membuat sang direktur kecewa dengan jawabannya.

"Mau kamu dulu atau saya dulu yang mandi?"

"Saya sudah mandi di kamar mandi yang ada di lobby."

Lagi Irene menghela napas. Gadis kecilnya itu memang senang sekali membuat gebrakan yang membuatnya heran.

"Saya tinggal mandi dulu kalau gitu. Nanti setelah mandi kita ke ruangan mas Angger sebentar, setelah itu kita pulang."

"Tapi direktur..."

Irene menoleh. "Apa?" Tanyanya datar.

"Apa tidak masalah anda hanya menjenguk sebentar lalu pulang? Maksud saya, disini banyak pasang mata. Bukankah lebih baik anda menemani pak Angger disini?"

"Aku tidak mau mengorbankan pasien dan pekerjaanku hanya untuk mengurus orang yang tidak tahu caranya berterimakasih."

Irene meninggalkan Ancala setelah menjelaskan situasinya dengan nada serius. Ancala bukannya tidak tahu bagaimana rumah tangga bos besarnya itu, hanya saja ia berusaha sebisa mungkin mengingatkan bosnya agar menjaga keharmonisan rumah tangga setidaknya di hadapan publik.

*****

Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok wanita cantik dalam balutan celana jeans dan kaos warna abu-abu, tampak berbeda dengan Irene yang semalam mengenakan pakaian formal.

Ancala melirik Adipati, kepalanya bergerak kecil ke arah pintu, tanda agar lelaki itu keluar bersamanya untuk memberikan ruang bagi pasangan suami istri yang tidak terlihat harmonis itu.

"Silahkan presdir." Ucap Adipati sopan seraya menunjuk sebuah kursi yang berada di sisi ranjang.

Adipati menoleh ke arah Angger. "Saya permisi dulu pak." Pamitnya.

Lelaki itu bergegas menuju ke arah pintu, kepalnya mengangguk pelan saat melewati Irene sebelum memberi tanda dengan tatapannya agar Ancala ikut keluar bersamanya.

Irene mendekati ranjang begitu pintu ruangan Angger tertutup. Ditariknya kursi yang ada di dekat ranjang sebelum duduk di atasnya.

"Masih pusing?" Tanyanya yang lebih terdengar seperti seorang dokter daripada istri.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang