Bab 10

341 51 11
                                    

Guyuran air shower berhasil membawa Irene kembali ke alam sadarnya. Hari ini, Angger sudah diizinkan pulang setelah hampir dua hari di rawat inap.

Irene? Wanita itu rela menempuh perjalanan tiga jam untuk pergi dan tiga jam untuk pulang setiap harinya demi memastikan tidak ada suara sumbang tentang rumah tangganya.

Pagi dia berkutat dengan pasien, dan malam harinya ia menjelma menjadi istri, setidaknya di hadapan orang-orang yang mengetahui statusnya.

Irene keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gaun malam yang membalut tubuhnya menambah kesan seksi dari dirinya.

Langkahnya terburu saat menuruni satu per satu anak tangga rumahnya. Jam sudah menunjukkan angka 7 malam sedangkan ia belum membuat apapun untuk makan malam.

Biasanya wanita itu tidak akan pusing untuk memasak, tetapi karena Angger sedang tidak mungkin makan di luar, mau tidak mau wanita itu harus memasak untuk makan malam mereka.

Irene menghela napas saat membuka mesin pendingin di dapur. Banyak bahan makanan tetapi wanita itu bahkan bingung harus memasak apa. Isi kepalanya lebih cepat untuk menentukan diagnosa daripada memutuskan masakan apa yang akan ia buat malam ini.

Soup daging.

Hanya itu yang terlintas di pikirannya. Memasukkan semua sayuran lalu daging sebelum akhirnya memberi sentuhan akhir berupa rempah dan bumbu. Ya, ia yakin bisa membuatnya menjadi makan malam yang sempurna.

Di sisi lain, ada seorang lelaki yang sedang menatap wanita itu dengan serius. Wanita yang cukup lama berdiri di depan mesin pendingin seraya beberapa kali menggaruk kepala belakangnya.

"Mikir apa Rene?"

Irene menoleh. "Aku bingung mau masak apa mas." Ucapnya tanpa berdosa. Ekspresinya polos dengan tangan kanan yang masih bersandar di pinggang.

Angger menarik satu kursi di sisi kanan meja makan. "Yang ada di pikiran kamu apa?"

"Soup daging."

Angger mengangguk. "Ya udah masak itu aja."

"Gak papa?" Tanyanya ragu. Kalau boleh jujur, dia hanya takut masakannya tidak sesuai dengan selera angger.

"Ya gak papa lah dek. Asal bukan stetoskop yang kamu rebus pasti aku makan." Ucapnya dengan senyuman tipis yang justru mendapat tatapan sinis dari Irene.

Irene menghela napas sebelum memasang celemek. Di ambilnya satu sumpit untuk mengunci gulungan rambut setengah basahnya. Membuat lelaki yang sedang mengamatinya itu terlihat tidak bisa berpaling ke arah lain, seolah tatapannya terperangkap dalam pesona wanita yang dulu berstatus adik iparnya itu.

Tatapannya benar-benar dibuat tidak bisa berpaling. Semua pergerakan Irene Angger ikuti walaupun sesekali ia harus membuang pandangan agar ia tidak tertangkap basah.

Tidak sampai 45 menit Irene sudah menyajikan hasil masakannya di atas meja. Angger tahu Irene bisa memasak disaat mereka masih berstatus sebagai saudara, bahkan dibandingkan Analla, masakan Irene jauh lebih bisa diterima lidahnya.

"Dek.." panggil Angger pelan, membuat wanita yang sedang menuangkan sup ke mangkuk itu mengalihkan perhatiannya.

"Kenapa mas?"

"Itu..." Ucapnya seraya menunjuk ke arah tubuh Irene menggunakan kepala walaupun tatapannya berfokus ke arah lain.

"Ha?" Tanyanya tidak mengerti.

"Tali kimono kamu, pasang dulu." Ucapnya canggung seraya menatap ke arah lain yang berhasil membuat Irene melihat dirinya sendiri. Sadar simpul kimononya terlepas yang membuat bagian atas sedikit terlihat, wanita itu bergegas meletakkan mangkuk di tangannya. Irene berbalik; kedua tangannya dengan cepat membuat simpul di bagian depan tubuhnya seraya memunggungi Angger yang terlihat cukup canggung dengan suasana mereka sekarang.

Peraduan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang