[12] hal baik selalu datang...

397 39 2
                                    

Pemakaman, adalah tempat peristirahatan terakhir bagi manusia. Semuanya pasti suatu saat akan berada disana.

Tidak ada yang bisa merubah takdir.

Tidak ada yang bisa mengetahui kapan manusia akan dimakamkan.

Siapapun harus tegar jika orang terdekat mereka lebih dulu kesana..

"Airuma... hai?.." Ucap seorang lelaki dengan sangat lembut, tangannya terangkat untuk mengusap tanah makam tersebut.

Tentu air mata akan menghujani makam tersebut. Makam yang teramat bersih dan terjaga.

"Ini Agil,.." Suaranya terdengar bergetar, sesak pun mulai dirasakannya.

"Sudah 2 tahun semenjak kamu ga ada,.. maaf aku tidak kunjungi  kamu lagi semenjak hari ulang tahunmu"

"Agil sekarang udah bisa jaga diri lho, Ai tau ga? kemarin Agil menang juara 1 basket lawan sekolah sebelah, Airuma senang?.."

Agil menceritakan semuanya kepada Airuma, semuanya. Dari hal yang paling bahagia sampai hal yang menyayat hati, Agil ceritakan semuanya pada Airuma.

"Ai bilang, Ai pengen lihat pertandingan terakhir Agil di kelas 12 ini kan?.. tapi maaf untuk saat ini Ai.. Agil cuma bisa menceritakannya" Setelah itu Agil mendeskripsikan secara rinci dan jelas semua yang ada didalam pertandingan agar yang mendengar dapat merasakan apa yang ada di pertandingan tersebut.

Pemakaman itu sangat sunyi dan sepi, hanya ada satu suara yang tidak mendapatkan timbal balik. Tapi seseorang itu tidak lelah, sama sekali.

Setelah menceritakan semua yang akhir akhir ini terjadi padanya, Agil. Menghembuskan nafasnya pelan, rasanya sakit sekali. Ada sesuatu yang mengganjal namun perih untuk mengeluarkannya.

"Ai, maaf. Agil gabisa jatuh cinta sama Mako... Agil udah usaha..," Air mata kembali mengalir.

"Agil.. ga sengaja hancurin dia.. maaf Agil tau Agil salah, salah banget. Agil bodoh, bodoh banget. Tapi Airuma, Agil di jebak.."






















































"Lu ga bilang bngsttt?!!" Bentakan yang sangat menyakitkan bagi pendengar.

Rasanya air mata pun tidak dapat menghapus rasa sedih di hatinya, jujur saja ini jauh lebih sakit dibandingkan kehilangan keluarga yang sudah lama bersamanya.

"Maaf.., Mako gamau kalian—"

Mako sangat ingin menjelaskan, tapi lawan bicaranya seperti tidak membutuhkan hal itu.

"Lo tetep anak dia!! gimanapun alasan lo!" Arion semakin menaikkan nadanya di setiap kata yang ia ucapkan.

"Mako.. lu kan tau kalau gua benci banget sama mereka" Riji tidak ingin mengatakan ini.

Mako baru saja mengenal keluarga ini, tapi rasanya jauh lebih nyaman dibandingkan keluarga yang sedari kecil bersamanya.

Saat ini tidak ada Caine, disaat mako membutuhkan kehadirannya. Seakan ini sangat sempurna untuk menghancurkan hidupnya.

'hal seperti ini.., seharusnya hal biasa bukan?.. tapi entah kenapa rasanya lebih sakit' Batin Mako.

"Makoto, gua dapet info lu buka-bukaan sama Agil. Itu benar?" Selia, menambah garam di luka Mako.

"Dasar jalang" Ucap Rion.

'sakit banget, sel'

"Gua musuhan banget sama Agil dari dulu, gini cara lu mako?" Riji kembali bersuara, air mata sudah menggenang.

Mako sedih melihat tatapan kebencian dari semua orang didepannya, rasanya luka baru Mako temukan disini..

'jangan tatap aku seperti itu..'

"Riji, gua minta maaf—" Tangan Mako ditepis, hatinya lebih sakit daripada sakit di tangannya.

"sekarang lu pergi, gua gamau liat lu nginjekin kaki disini" Rion tidak ada pilihan lain, dia tidak mau memperburuk suasana, bisa saja Mako mati ditangannya sekarang.













































































Sekarang Mako, berjalan asal di atas aspal yang dingin. Dia tidak menggunakan alas kaki karena lupa, pikirannya kacau jadi hal kecil seperti ini bisa dia lupakan.

'aku harus kemana? rumah keduaku hancur... dan bodohnya, aku menyuruh Agil pergi.. diaa pasti tidak akan menghampiriku lagi'

Satu tetes air mata mengalir di pipi Mako.

Berjalan tanpa tau arah, sangat menyakitkan..

'kenapa.. hal buruk selalu datang menghampiriku' ucapnya bersamaan dengan rintik hujan dan angin yang menerpa seluruh tubuhnya.

Dingin yang dia rasakan..

Sakit yang ada di hatinya..

dan luka yang dia dapatkan..

semuanya diguyur oleh air hujan yang semakin deras.

Saat dirinya tengah merayakan air hujan tiba-tiba saja dia merasakan ada sesuatu yang menghalanginya, inilah yang membuatnya tidak menyerah selama ini..

setiap dia ingin menyerah, hal baik selalu datang bersamaan dengan rasa sakit itu..

'payung?..'

Mako melihat ke belakang perlahan, kaget..

Tidak menyangka ini akan terjadi..

Caine, tubuhnya sangat basah akibat hujan yang sangat deras. Tapi dirinya tidak peduli dengan itu, dia tetap memberikan payung kepada Mako dan untuk Mako.. bukan untuknya..

"mami?.." air mata menggenang di kantung matanya.

"iya ini mami.."  Caine tersenyum sambil menyodorkan payung kepada Mako.

"mami.." air mata Mako mengalir deras selayaknya air hujan yang turun malam ini, mambasahi kedua lelaki yang sedang bertatapan dengan air mata yang mengalir.

"maafin aku... ya?.. Mako mau maafin aku?.." Caine memeluk Mako dengan sangat lembut, membuat Mako merasakan kehangatan yang jarang sekali Mako dapatkan.

"pasti,... dan mami ga perlu minta maaf.. aku yang harusnya minta maaf.. hiks" Mako berbicara di pelukan Caine.

"maafin papi dan yang lain juga ya?... " Caine mengusap air mata di pipi Mako dengan lembut.

Mako mengangguk mendengar pertanyaan dari Caine, sudah pasti dia memaafkan semuanya.

"Mako kuat, mami tau itu. Kalau butuh apa-apa telpon mami, sama seperti dulu mako selalu kabarin mami kalau ada masalah" Lanjut Caine sambil tersenyum kecil.

Kemudian setelah merasa cukup Caine menarik Mako ke tepi jalan, dia takut Mako akan sakit kalau terus dibawah air hujan deras malam ini.

"Dingin mami.."

"Siap Mako" Dengan sigap Caine memeluk Mako. Dia sedih saat mendengar penjelasan dari krow kalau Mako di bentak dan diusir oleh keluarganya.

Ini bukan bentuk permintaan maafnya, tapi ini bentuk rasa cintanya kepada Mako yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

"mami ga benci aku? kan aku anaknya pak makomi.." Lirih Mako didalam pelukan Caine.

"mami ga mungkin benci kamu, ga akan pernah. Kamu udah aku anggap seperti anak sendiri, masa aku benci anak sendiri?"  Caine mengeratkan pelukannya.

"Habisnya kata mereka—"

"Hush, jangan dipikirkan kata mereka ya? mulai sekarang dengerin apa kata mami"











































bersambung..

maaf yaa aku baru up

vote dan komen janlup🤍🤍

Tokyo Noir Familia [Seri 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang