Pertemuan 1

30 6 1
                                    

"Apa yang kamu bicarakan?"

Suara yang kasar, seperti perasaan memotong karton tebal dengan gunting yang tumpul.

Jimin benar-benar mulai panik. Tapi tidak mau kalah, Jimin membalasnya dengan meninggikan suaranya.

"Kita harus mengevakuasi orang - orang untuk berjaga - jaga-"

"Diam sebentar."

Dia mengucapkan kata-kata itu dengan volume normal, namun terasa tegas, cukup untuk segera memotong perkataan Jimin.

Ayah Minjeong, Walikota Kim, memejamkan mata dan bersandar di kursi kulit kantornya, terlihat agak kesal. Setelah beberapa saat, dia menarik napas dalam - dalam dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Terlihat dedaunan berguncang di bawah sinar matahari sore yang cerah.

"Sebuah komet akan pecah menjadi dua dan jatuh di kota ini? Lebih dari lima ratus orang akan mati?"

Dia menghabiskan beberapa saat mengetuk- ngetukkan jarinya di mejanya sebelum akhirnya berbalik menatap putrinya. Keringat mengucur dari bagian bawah lutut 'Minjeong'.

"Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku punya bukti-"

"Beraninya kau membuang waktuku dengan omong kosong seperti itu!" dia berteriak tiba-tiba.

"Aku pikir keluarga Kim mungkin memiliki delusi." Sambil mengerutkan kening dalam-dalam, walikota bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Kemudian, dia melontarkan tatapan tajam ke 'Minjeong' dan berkata,

"Jika kau serius, kau pasti gila."

"Apa-"

Jimin gagal merangkai kata. Tidak ada satupun kepercayaan diri yang tersisa, yang dia miliki tiga puluh menit yang lalu saat pertemuan rencana mereka.

"Tunggu, tidak. Ini bukan khayalan dan aku tidak gila. Aku -"

"Aku akan mengatur pertemuan dengan dokter."

Suara walikota tiba-tiba dipenuhi kekhawatiran, dan, saat dia menelepon seseorang, dia berkata,

"Periksalah ke dokter di rumah sakit kota. Setelah itu, jika masih ada yang ingin kau katakan, kita bisa bicara."

Kata-kata itu membuat Jimin sangat tidak nyaman. Dia benar-benar memperlakukan Minjeong, putrinya sendiri, sebagai orang gila.

Saat Jimin menyadarinya, seluruh tubuhnya menjadi dingin seolah membeku. Kepalanya sendiri menjadi semakin panas, seperti ada sesuatu yang baru saja tersulut.

"Omong kosong!"

'Minjeong' berteriak. Mata walikota terbuka lebar. Sebelum 'Minjeong' menyadarinya, dia telah menarik dasi ayahnya. Telepon jatuh ke sisi meja, terus mengeluarkan bunyi dering samar.

"A..."

'Minjeong' melonggarkan cengkeramannya. Perlahan, mereka menjauh. Mulut Walikota tetap terbuka, sedikit gemetar karena terkejut atau mungkin bingung. Mereka tidak memutuskan kontak mata. Setiap pori-pori di tubuh 'Minjeong' mulai mengeluarkan keringat.

"... Kim Minjeong." Akhirnya, ayah berbicara.

"... Tidak... Siapa kau?"

.

.

.

Jimin bisa mendengar suara samar palu datang dari suatu tempat. Sore hari menjelang senja, suasana kota menjadi sangat sunyi, menyebabkan suara - suara jauh pun terdengar.

Clang Clang

Saat 'Minjeong' berjalan dengan susah payah menaiki jalan landai yang menghadap ke danau, dia membayangkan paku-paku ditancapkan ke sepotong kayu tebal, sesuai dengan kebisingan yang dia dengar sekarang.

Your Name (Jiminjeong / Winrina AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang