Sebuah Upaya

55 7 2
                                    

Minjeong berlari.

Dia berlari dan berlari sepanjang jalan hutan yang kasar, sambil mengulangi namanya berulang kali.

"Jimin. Jimin. Yoo Jimin"

"Tidak apa-apa. Aku masih ingat. Aku tidak akan lupa."

Tak lama kemudian, cahaya dari rumah - rumah mulai mengintip melalui celah pepohonan, dan telinganya mulai menangkap samar-samar musik festival yang terbawa angin.

"Jimin. Jimin. Yoo Jimin"

Di langit di atas, Komet Tiamat, dengan ekornya yang mempesona di belakang, berkilau lebih terang dari bulan. Jimin meneriakkan namanya dalam hati, seperti mantra, Minjeong merasa dia bisa melawan dunia.

"Namamu Yoo Jimin!"

Gemuruh mesin sepeda motor terdengar, dan sepasang lampunya menyinari mata Minjeong.

"Yedam!"

Minjeong berteriak dan berlari menuju sepeda.

"Minjeong! Kemana saja kau tadi!?"

Yedam, mengenakan helm besar yang konyol dengan senter terpasang seolah dia sedang menjelajahi gua atau semacamnya, sambil memarahi Minjeong. Sayangnya, Minjeong tidak bisa menjelaskan secara pasti apa yang terjadi. Sebaliknya, dia menyampaikan kata-kata Jimin.

"Dia minta maaf karena merusak sepedamu."

"Hah? Siapa?"

"Eh, aku! Aku minta maaf."

Yedam tampak skeptis tetapi tidak bertanya lebih jauh. Dia mematikan mesin, sambil berteriak,

"Kau harus menjelaskan semuanya nanti, oke?!"

.

.

.

Gardu Listrik Gyeongsangnam - Dilarang Masuk.

Sebuah plat dengan kata-kata itu ditempelkan pada pagar logam, dan di baliknya terdapat siluet transformator daya dan menara baja serta perangkat lain yang tampak rumit. Itu adalah fasilitas tak berawak; satu-satunya penerangan berasal dari lampu merah yang dipasang di mesin.

"Itu benar benar akan jatuh, kan? Iya, kan?!"

Yedam, sambil menatap ke langit, bertanya pada Minjeong.

Mereka berdiri di depan pagar yang mengelilingi gardu induk, memandangi komet yang berkilauan di atas.

"Itu akan jatuh! Aku melihatnya dengan mataku sendiri!" kata Minjeong sambil menatap langsung ke mata Yedam.

Hanya tersisa dua jam sampai benturannya terjadi. Tidak ada waktu untuk menjelaskan banyak hal.

Yedam menatap Minjeong dengan curiga, lalu tertawa kecil. Tawa itu tampaknya lebih terdengar seperti keputusasaan.

"Oh, jadi kau melihatnya, ya? Kalau begitu, kurasa kita tidak punya pilihan!"

Dengan semangat baru, dia membuka tas olahraganya, memperlihatkan sebuah silinder berbentuk seperti tongkat estafet yang dibungkus kertas coklat yang dikemas rapat di sana. Bahan peledak.

Minjeong menelan ludah saat melihatnya. Yedam kemudian mengeluarkan sepasang pemotong baut berukuran besar dan mulai memotong rantai yang menghalangi pintu masuk gardu induk.

"Hei Kim Minjeong," panggilnya.

"Tindakan ini tidak main - main."

"Tolong, lanjutkan. Aku yang akan bertanggung jawab."

"Kau bodoh? Bukan itu yang ku maksud," kata Yedam hampir terdengar seperti amarah.

"Sekarang kita adalah rekan penjahat!"

Your Name (Jiminjeong / Winrina AU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang