“Beliau pendiam dan blak-blakan, tapi beliau orang yang sangat baik.”
Pikir Jimin ketika melihat tangan tua itu memegang kemudi di sampingnya. Kemarin, orang yang membawa kami ke SMA Gyeongsangnam dan ke perpustakaan adalah lelaki tua dari toko ramen. Pagi ini, meskipun menelepon sangat pagi, dia mendengarkan permintaan Jimin dan menjemputnya dengan mobil.
Jika tidak berhasil, Jimin berencana untuk menumpang, meskipun patut dipertanyakan apakah ada yang bersedia memberinya tumpangan ke reruntuhan desa, selain itu dia seorang perempuan, berbahaya jika sembarangan meminta bantuan orang asing. Jimin berpikir dia sungguh beruntung bisa bertemu bapak ini.
Dari jendela penumpang, Jimin melihat tepi Danau Gyeongsangnam Baru. Rumah yang hancur dan pecahan aspal terendam air. Jauh di lepas pantai, tiang telepon dan balok baja menyembul dari permukaan. Meskipun pemandangannya tak biasa, Jimin merasa familiar, mungkin karena dia sudah terbiasa melihatnya di TV atau di foto. Ketika dihadapkan pada pemandangan di depan matanya, Jimin tidak tahu apa yang harus aku rasakan
“Haruskah aku marah, haruskah aku sedih, haruskah aku takut, atau haruskah aku meratapinya?”
Jimin melihat ke arah langit. Awan kelabu menggantung di atas mereka.
Mereka akhirnya mencapai titik di mana mereka tidak dapat mendaki lebih tinggi lagi dengan mobil. Orang tua itu menginjak rem.
“Sepertinya akan turun hujan,” katanya sambil melihat melalui kaca depan.
“Gunung ini tidak curam, relatif aman, tapi jangan memaksakan diri. Jika terjadi sesuatu jangan ragu untuk menelepon.”
"Baik, Pak."
“Dan juga, ini.” Dia mengulurkan kotak bento besar. “Makanlah di tengah perjalanan.”
Jimin menerima hadiah berat itu dengan kedua tangan.
“T-Terima kasih…”
“Kenapa bapak begitu baik padaku?”
Tak satu pun dari kata-kata itu berhasil keluar dari mulut Jimin. Pada akhirnya, Jimin hanya bisa menggumamkan kata ‘maaf’ dengan pelan.
Orang tua itu menyipitkan matanya, mengeluarkan sebatang rokok, dan menyalakannya.
“Saya tidak tahu apa-apa tentang situasi Anda,” dia memulai sambil mengembuskan asap.
“Tapi gambar Gyeongsangnam yang Anda buat… itu mengingatkanku pada masa lalu.”
Dada Jimin terasa sesak. Jauh di dalam sana, terdengar gemuruh kecil, sama seperti langit saat ini.
.
.
.
Saat Jimin melanjutkan perjalanan, pepohonan mulai menghilang dan dia sekarang dikelilingi oleh batu-batu besar yang tertutup lumut. Di bawah sana, terlihat gambaran tipis danau mengintip melalui celah awan tebal. Jimin telah tiba di puncak.
"Itu tempatnya!"
Di depannya terbentang cekungan luas dan pohon raksasa.
“Itu benar-benar ada! Itu bukan mimpi…”
Hujan sudah berkurang menjadi gerimis, mengalir di pipi Jimin seperti air mata. Menyeka wajahnya dengan lengan baju, Jimin mulai menuruni lereng. Aliran sungai yang dia ingat, sekarang menjadi sebuah kolam kecil. Hujan mungkin telah membanjirinya, atau mungkin sudah banyak yang berlalu sejak mimpi. Kolam itu terletak di antara Jimin dan pohon raksasa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Name (Jiminjeong / Winrina AU)
FanficKisah ini mengambil 80% jalan cerita dari film dengan judul yang sama, "Your Name" atau "Kimi No Na Wa".